Senin, 22 Desember 2008

Perkembangan Bentuk Penyajian Musik Tradisional Rabab Pasisia dalam Seni Pertunjukan di Minangkabau

A. Pendahuluan
Musik tradisional, secara umum dikenal sebagai musik etnis. Seni jenis ini dapat dipastikan dimiliki oleh semua kelompok etnis yang mendiami wilayah nusantara kita. Di Jawa dikenal dengan nama karawitan, yaitu semua jenis seni yang memanfaatkan unsur suara dan instrumen sebagai medium ungkapnya yang menggunakan laras slendro dan pelog, disebut dengan karawitan.1
Definisi karawitan dimaksud, bertujuan untuk mewakili semua jenis musik tradisional yang tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah Nusantara kita, jelas definisi tersebut memiliki kelemahan. Hal ini disebabkan, tidak semua jenis musik tradisional yang ada di wilayah nusantara ini menggunakan laras slendro dan pelog. Untuk wilayah yang bertetangga saja dengan Jawa Tengah, misalnya Jawa Barat, selain memiliki laras slendro dan pelog, musik tradisional di Jawa Barat masih memiliki laras yang lain, salah satu misalnya adalah laras madenda. Belum lagi wilayah-wilayah yang berada sangat jauh dari Jawa Tengah, seperti misalnya di sebagian besar wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Musik tradisional yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah di wilayah Sumatera Barat (Minangkabau), hingga saat ini tidak memiliki standar nada seperti halnya karawitan Jawa. Hal ini disebabkan karena keberadaan dan perkembangan musik tradisional di Minangkabau tidak terpusat di suatu tempat, umpamanya di Kraton seperti di Jawa Tengah. Jadi, masing-masing daerah di Minangkabau memiliki musik tradisionalnya sendiri-sendiri. Kalaupun di berbagai daerah tersebut terdapat jenis alat musik yang sama, tidak berarti alat musik tersebut mempunyai standar nada yang sama pula. Seperti alat musik talempong, biasanya terdapat merata di berbagai daerah Minangkabau. Tetapi, talempong yang berkembang di daerah pedalaman Minangkabau tidak akan sama nada dan lagu-lagu yang disajikan dengan musik tradisional talempong yang berkembang di daerah pesisir Minangkabau. Belum lagi jenis alat musik yang lain, yang belum tentu terdapat di daerah lain di Minangkabau. Misalnya rabab darek, jenis musik ini hanya terdapat di wilayah pedalaman Minangkabau, saluang pauah, hanya terdapat di daerah Pauah yang terletak di dalam wilayah Kotamadya Padang, dendang solok hanya berkembang di wilayah Kabupaten Solok, saluang panjang, hanya terdapat di daerah Sungai Pagu dalam wilayah Kabupaten Solok Selatan, saluang sirompak hanya terdapat di Payakumbuh Kabupaten 50 Kota, dan berbagai jenis musik tradisional lainnya yang banyak tersebar di berbagai wilayah Minangkabau.
Sesama berada dalam satu wilayah tetapi tidak memiliki nada dan jenis musik tradisional yang sama, apa lagi bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang tersebar di Nusantara ini. Kita menginginkan definisi yang seragam tentang musik tradisional yang tumbuh dan berkembang di berbagai wilayah nusantara ini, jelas definisi karawitan seperti tersebut di atas tidak mewakili musik tradisonal yang lain di luar wilayah pulau Jawa. Tetapi apabila kita memakai definisi karawitan yang terdapat dalam tulisan Soedarso Sp. bahwa, "seni karawitan adalah paduan bunyi atau suara yang indah yang mengenakkan telinga" (Soedarso Sp., 1990: 1), barangkali definisi ini lebih dapat diterima dan yang lebih penting lagi definisi ini tidak bersifat etnosentris.
Masalah musik tradisional sesuai dengan judul tersebut di atas, dalam uraian selanjutnya akan mengambil objek salah satu musik tradisional yang tumbuh dan berkembang di wilayah budaya Minangkabau, yaitu musik tradisional rabab pasisia yang tumbuh dan berkembang di berbagai daerah di Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat. Agar pembahasan terhadap objek ini tidak terlalu jauh melenceng dari judul artikel ini, maka pokok permasalahan berdasarkan objek musik tradisional rabab pasisia ini akan dibatasi kepada masalah "perkembangan bentuk penyajian musik tradisional rabab pasisia dalam dunia seni pertunjukan di Minangkabau."

B. Pembahasan
Minangkabau merupakan salah satu daerah budaya di Indonesia yang didiami oleh masyarakat yang dikenal dengan suku bangsa (ethnis) Minangkabau. Masyarakatnya memiliki sistem kekeluargaan (kekerabatan) menurut garis keturunan ibu (matrilinial). Mereka menjalankan norma-norma adat Minangkabau dan menganut ajaran agama Islam. Keadaan beradat dan beragama tersebut juga tergambar pada produksi seni budaya yang dibangun dari unsur-unsur yang bernuansa duniawi (sekular) sejalan dengan nilai-nilai adat. Adapun sebagiannya muncul dalam bentuk seni budaya yang dibarengi dengan nilai-nilai bernuansa Islam (ukhrawi). Masalah unsur diniawi dan unsur ukhrawi merupakan dua masalah nilai yang cukup sensitif dalam kehidupan masyarakat Minangkabau, sehingga tidak pernah dicampur-baurkan; namun kedua nilai ini juga menjadi sumber kreativitas seni budaya mereka.
Membicarakan sumber utama sistem dan tata-nilai yang dianut manusia, maka masyarakat Minangkabau telah memilih dan menetapkan adat Minangkabau dan agama Islam sebagai sumber utama sistem dan tata-nilai yang dihayati sebagai falsafah kehidupannya. Segala konsep kreativitas mereka juga mengacu kepada nilai-nilai moral yang dikandung oleh adat dan agama.
Salah satu produk budaya masyarakat Minangkabau ialah berupa seni pertunjukan tradisional (seni tari, seni musik, dan seni teater). Semua konsep seni itu sejalan dengan sistem berfikir masyarakat pendukungnya yang beradat Minangkabau dan beragama Islam. Kegiatan seni pertunjukan itu masih berlanjut sampai sekarang dan masih tetap menjalani perkembangannya. Kelompok-kelompok seni pertunjukan tradisional menyajikannya dalam konteks yang tradisi pula sesuai dengan upacara yang berhubungan dengan kegiatan adat Minangkabau ataupun agama Islam.
Dewasa ini, konteks penyajiannya sudah mulai berkembang untuk menjawab tantangan era globalisasi di Minangkabau, terutama dalam rangka memenuhi konsumsi pariwisata di Sumatera Barat, dan even-even Nasional lainnya.
Secara umum, tata-nilai adat berkonotasi kepada segala laku perbuatan yang bernuansa duniawi, sedangkan tata nilai agama Islam lebih berkonotasi kepada semua laku perbuatan yang berbentuk amalan sebagai persiapan hidup untuk akhirat yang bernuansa religius; sehingga terdapat jenis seni pertunjukan tradisional yang duniawi (sekuler), dan seni pertunjukan tradisional yang bernuansa Islam (ukhrawi). Walaupun begitu, tidak semua jenis kesenian yang berasal dari Timur Tengah yang dibawa oleh para pedagang Islam ke Nusantara ini yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok kesenian yang bersifat ukhrawi.
Dengan demikian, seni pertunjukan tradisional Minangkabau dapat dilihat dari dua sisi penting sebagai berikut.

1. Seni Pertunjukan Tradisional Minangkabau Bernuansa Duniawi
Segala ciri-ciri khas dan karakter, kebiasaan sikap dan tingkah laku suatu kelompok masyarakat Minangkabau berakar dari sistem yang berlaku dalam kehidupan masyarakat itu sendiri, yang sejalan dengan konsep berfikir masyarakat pendukungnya yang beradat Minangkabau dan beragama Islam.
Secara umum, masyarakat Minangkabau memiliki falsafah hidup yang sama, yaitu Adat bersendikan syarak, syarak bersendikan Kitabullah. Adapun secara khusus, terdapat perbedaan-perbedaan sikap, tingkah laku, dan kebiasaan yang berlainan pada tiap-tiap nagari2 (M.D. Mansoer, dkk., 1970 :15; Rusli Amran, 1981: 6.), sehingga aturan adat nan diadatkan, dan adat-istiadat yang memayungi segi perubahan nilai sosial dalam kehidupan masyarakat, hanya berlaku untuk masing-masing nagari.
Selain dari pada itu, pengaruh seni budaya yang datang dari luar Minangkabau yang tidak bernuansa Islam dan telah mentradisi dalam suatu kelompok masyarakat di daerah Minangkabau, juga dianggap sebagai kesenian yang bernuansa duniawi, seperti bansi dan seni pertunjukan rabab pasisia yang merupakan pengaruh dari bangsa asing yang pernah lama menguasai perdagangan di daerah Pesisir Selatan Sumatera Barat. Beberapa contoh seni tradisi Minangkabau yang bernuansa duniawi, adalah sebagai berikut.
Tari, seperti tari sado, tari lamo (tari mulo pado), tari piriang, tari suluah, tari sakin, tari padang, tari sampan, tari jalo, tari alang suntiang pangulu, tari rantak kudo, tari luambek, tari buai, dan sebagainya.
Teater, seperti randai.
Seni Tutur, seperti tupai janjang, bakaba, sijobang, saluang pauah, rabab (perpaduan seni tutur dan seni musik) yang terdiri dari rabab piaman, rabab darek, rabab pasisia, dan rabab badoi.
Musik, terdiri dari: ensambel talempong pacik3 yang hadir secara berkelompok pada setiap nagari di Minangkabau, jenis ensambel gandang aguang Labuah Gunuang, ensambel gandang gadang Lubuak Jantan, dan ensambel canang Sawahlunto. Ansambel talempong rea4 (standar kayu), seperti talempong gandang lasuang, talempong alu baganto, talempong sitawa, talempong gandang aguang Sialang, dan talempong Unggan. Talempong yang spesifik, seperti talempong batu, talempong kayu, talempong sayak, talempong sambilu, dan talempong Jao (talempong basi, atau tingtong). Ansambel musik perkusi idiofon lainnya, seperti: gandang tigo, momongan, sikatuntuang, dan alu baganto. Ensambel perkusi membranofon, seperti gandang tambua Pariaman, gandang tambua Maninjau, dan gandang katipik Maninjau, serta gandang sarunai Sungai Pagu dan gandang sarunai Balai Salasa Pesisir Selatan. Ansambel Aerofon saluang: seperti saluang darek, saluang sirompak, saluang pauah, saluang sungai pagu (saluang panjang), dan saluang badoi. Ansambel aerofon lainnya seperti, bansi, sampelong, pupuik gadang, (pupuik liolo, pupuik tingkolong), pupuik ole-ole, pupuik sarunai batang padi), pupuik baranak, pupuik tanduak, pupuik daun galundi, pupuik sarunai (sarunai tanduak dan sarunai darek, sarunai batang padi, sarunai pasisia, sarunai Sungai pagu). Alat musik Chordophone rabab seperti, rabab piaman, rabab darek, rabab badoi, dan rabab pasisia. Alat musik Chordophone lainnya seperti, kucapi, dan genggong (genggong basi, genggong palapah daun anau).

2. Seni Pertunjukan Tradisional Minangkabau Bernuansa Islam
Semua bentuk seni pertunjukan tradisional Minangkabau yang materinya berhubungan dengan syari'at Islam, dapat dikatakan memiliki nuansa ukhrawi. Seni pertunjukan tradisional jenis ini biasanya mengandung misi yang berhubungan dengan masalah ke-Agungan dan ke-Esaan Allah Subhanahuwata'ala, kemuliaan Nabi Muhammad Shalallahu'Alaihi Wasallam, ataupun berhubungan dengan masalah-masalah hukum Islam.
Berkembangnya Islam di Minangkabau, sekaligus memunculkan bentuk-bentuk kesenian yang bernafaskan Islam. Kesenian itu ada yang dibawa oleh para pedagang dari Gujarat dan Parsi yang sekaligus mengembangkan ajaran Islam di Nusantara ini. Walaupun begitu, terdapat pula jenis kesenian yang bernafaskan Islam itu, yang lahir setelah agama Islam berkembang di Minangkabau, seperti salawat talam/dulang; namun kesenian ini tidak melepaskan diri dari hukum adat yang berlaku di tengah masyarakat Minangkabau itu sendiri, bahkan orang Minangkabau berusaha untuk memperbaiki aturan adatnya dengan menyesuaikan dengan ajaran-ajaran agama Islam yang dianutnya.
Jadi, bukan semua kesenian yang berasal dari wilyah Timur Tengah atau kesenian-kesenian yang dipengaruhi oleh budaya Arab, dikelompokkan kepada kesenian yang bernuansa Islam. Misalnya, seperti jenis seni pertunjukan rabab. Diketahui bahwa, jenis kesenian ini dibawa oleh bangsa Persia sambil mengembangkan ajaran Islam, namun dalam perkembangan selanjutnya di Minangkabau, jenis kesenian ini tergolong kepada klasifikasi musik yang bernuansa duniawi.
Instrumen musik rebab (rabab dalam bahasa Minangkabau) cukup terkenal dalam kehidupan musik tradisional masyarakat Indonesia. Banyak suku-bangsa di wilayah Nusantara ini yang memiliki jenis instrumen musik tersebut, seperti rebab Melayu-Deli, rebab Melayu-Riau, rebab Kalimantan Tengah, rabba atau dodo raba Sulawesi Tenggara, gesok-gesok Sulawesi Selatan, arababu Minahasa dan Maluku5 (Sumaryo L.E., 1975:45), heo di Nusa Tenggara Timur, rebab Betawi,6 rebab Sunda, rebab Jawa, rebab Bali, murbab Batak Karo, hareubab Aceh, dan rabab Minangkabau.
Dilihat dari sudut bahasa yang dipakai untuk jenis instrumen musik rebab tersebut di atas, ternyata cukup beragam istilah yang sesuai dengan kecenderungan dialek yang dimiliki oleh masing-masing etnis tersebut. Di samping itu, setiap jenis rebab itu saling memiliki perbedaan, yaitu berbeda latar belakang sejarah, konsep organologi, konsep musikal, dan berbeda lokasi kehidupan ataupun masyarakat pendukungnya.
Pada dasarnya, semua instrumen musik rebab berfungsi melodius dalam mengiringi suatu lagu (dendang dalam bahasa Minangkabau). Karl-Edmund Prier Sj. (1991: 179) menguraikan tentang masalah instrumen musik yang bersifat melodius, sebagai berikut.
Instrumen untuk mengiringi vokal berbeda-beda:
- alat musik ikut memainkan suara yang juga dinyanyikan, teknik ini disebut colla parte;
- alat musik main part khusus instrumental, misalnya contratenor dalam Discantlied;
- alat musik menggantikan suara vokal;
- komposisi vokal seluruhnya dimainkan secara instrumental.
Musik rebab dalam suatu ensambel musik tradisional, atau ketika berduet dengan lagu-lagu tradisional adalah memiliki teknik colla parte (alat musik ikut memainkan suara yang dinyanyikan), juga termasuk teknik instrumental yang menirukan vokal. Memang seyogyanya melodi rebab selalu menteladani teknik penyajian vokal, agar karakter melodi vokal sama dengan karakter melodi instrumentalnya.
Instrumen musik rebab pada berbagai ensambel musik tradisional di Nusantara ini, cukup penting dalam membangun komposisi musiknya, bahkan dalam pertunjukan teater tradisi Mak Yong, terdapat struktur penyajian awalnya yang khusus adegan “menghadap rebab” yang dianggap sebagai suatu bagian yang sakral. Berkaitan dengan hal di atas, Tengku Lukman Sinar (1986: 7) mengungkapkan bahwa:
Musik cordophon (Lute) tipe ini difungsikan sebagai solo melodi. Di zaman dahulu di Persia rebab ini bertali satu dan digunakan untuk mengiringi deklamasi disebut Rebab Ul Saer. Pada orang Melayu, rebab ini tinggi prestasinya, seperti halnya biola pada orang Barat, yang dianggap raja instrumen. Pada rebab terletak penghormatan karena hampirnya dia dengan upacara yang bersifat gaib, seperti halnya lagu menghadap rebab pada permainan teater Makyong.
Berbagai informasi tentang musical instrument di dunia, tidak pernah dijumpai alat musik rebab yang memiliki tali satu. Rebab orang Maroko memiliki tali dua. Mungkin rebab Persia yang dimaksud oleh Tengku Lukman Sinar di atas adalah jenis rebab yang bernama Amzhad sebagaimana yang diterangkan William P. Malm (1977: 59) sebagai berikut.
...biasanya wanita menjadi instrumentalis. Laki-laki, biasanya mereka bernyanyi, teristimewa untuk hiburan yang sangat menyenangkan di suatu pertemuan. Bentuk nyanyian cinta mereka penuh ornamen yang diiringi alat gesek yang bertali satu (amzhad atau imzhad).
Di Minangkabau, semua jenis rebab hadir sebagai instrumen musik melodius yang bersifat tunggal (tanpa ditemani oleh instrumen musik lain) namun penyajiannya berduet mengiringi dendang (lagu). Dalam arti, semua jenis rebab di Minangkabau berfungsi mengiringi dendang (lagu). Penyajiannya ada yang berbentuk seni tutur dengan sumber teks dari cerita rakyat Minangkabau (kaba7). Selain itu, terdapat juga penyajian yang tidak berbentuk seni tutur, tetapi hanya menyanyikan pantun-pantun dengan melodi berbetuk strophic (Hugh M. Miller, t.t.: 337) dengan sumber teks berasal dari pantun-pantun yang spontan, sehingga melahirkan sifat penyajian yang logogenic.8 Pada umumnya, teknik penyajian antara melodi rebab dengan melodi dendang dari masing-masing jenis rebab di Minangkabau ialah bersifat heterophoni terhadap melodi lagu-lagu yang disajikan. Konsep musikalnya tentu berbeda dengan keberadaan rebab yang ikut membangun komposisi musik dalam perangkat gamelan Sunda, gamelan Jawa, gamelan Bali, atau pada ansambel musik Melayu. Begitu juga alat musik murbab pada masyarakat Batak Karo, berperan sebagai instrumen musik tunggal. Cukup tingginya tingkat kepentingan suatu etnis di Nusantara ini terhadap jenis instrumen musik rebab pada konteks budayanya masing-masing, maka muncullah berbagai deskripsi untuk menerangkan seluk-beluk instrumen musik rebab. Keterangan ini merupakan suatu terminologi dari instrumen musik rebab tersebut. Dalam Kamus Indonesia-Inggris (Hassan Shadily, 1990: 453) diterangkan "rebab two-stringed musical instrument". Adapun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia( 1995: 824) diuraikan, bahwa: "Rebab adalah alat musik gesek menyerupai biola bertali dua atau tiga, biasanya digesek dengan cara ditegakkan di lantai dan penggeseknya [tukang rebab] berada di belakang rebab."

C. Seni Pertunjukan Rabab Pasisia
Rabab pasisia yang terdapat di daerah Pesisir Selatan Sumatera Barat, mempunyai empat buah tali (snar), sama dengan jumlah tali biola. Struktur organologinya mirip dengan keman dan rebab Maroko, atau biola Barat; bahkan sebagian besar masyarakat pendukungnya di Pesisir Selatan tetap menamakan rabab pasisia itu dengan istilah biola, tetapi bukan instrumen musik biola yang dijadikan rabab pasisia. Bangunan biola mirip dengan rabab pasisia, namun terdapat perbedaan warna bunyi yang tidak sesuai dengan telinga para seniman dan masyarakat pendukung kesenian rabab pasisia. Dengan demikian, instrumen musik biola tidak bisa dijadikan rabab pasisia Minangkabau, bahkan tukang rabab pasisia tidak mau memakai biola untuk pertunjukannya.
Secara naluriah, masyarakat Minangkabau memiliki dua macam kegemaran yaitu permainan rakyat dan kesenian rakyat. Permainan rakyat meliputi kegiatan berlayang-layang, pacu sapi, pacu kuda, pacu itiak (bebek), pacu sampan, dan buru babi. Sedangkan kesenian rakyat terdiri dari pencak silat, randai, musik tradisional, dan tari-tarian tradisional. Salah satu kesenian rakyat yang berbentuk musik tradisional, yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Minangkabau Pesisiran adalah rabab pasisia.
Jenis kesenian ini berkembang pada geografis Pesisir Selatan Minangkabau yang meliputi lingkungan daerah sepanjang pantai dari nagari Siguntua Tuo, Siguntua Mudo, Baruang-baruang Balantai, Tarusan, Pasa Baru, Talaok, Koto Marapak, Asam Kumbang, Gurun Panjang, Lumpo, Salido, Painan, Batang Kapeh, Surantiah, Ampiang Parak, Kambang, Lakitan, Labuhan, Balai Salasa, Sungai Tunu, Punggasan, Air Haji, Indo Puro, Tapan (berbatasan dengan daerah Kerinci Propinsi Jambi), Lunang, dan Silauik (berbatasan dengan dengan daerah Bengkulu).
Latar belakang lahirnya kesenian rabab pasisia ini berhubungan erat dengan seni tutur kaba yang dikenal dengan nama basikambang yang telah mentradisi dalam kehidupan masyarakat Pesisir Selatan. Masyarakat ini memiliki persepsi yang menarik tentang segi latar belakang kehadiran seni pertunjukan rabab pasisia yang populer saat ini. Bakhtiar menandaskan bahwa dendang sikambang merupakan visualisasi penderitaan hidup dalam sejarah yang panjang di Pesisir Selatan, karena daerah ini lama menjadi jajahan, baik yang datang dari luar (Belanda dan Inggris) maupun dari dalam (Aceh). Pesisir Selatan juga menjadi daerah baru bagi kerabat bangsawan Minangkabau yang tidak setuju dengan kedatangan Adityawarman yang diterima sebagai Raja Pagaruyung; kemudian daerah ini lama dijajah oleh bangsa Barat (menjajah rakyat Pesisir Selatan yang terdiri dari penduduk asli dan penduduk yang berstatus bangsawan (Bakhtiar, 1994: 15-16). Akibat yang ditimbulkan penjajahan ini pulalah yang mengilhami terciptanya kekhasan irama lagu-lagu Sikambang yaitu irama sedih tentang nasib yang selalu tertekan. Kehidupan menjadi sulit dan penuh dengan penderitaan, sehingga terjadi perenungan terhadap nasib yang malang, sedih penuh ratap tangis, baik sebagai bangsawan maupun sebagai rakyat biasa. Penderitaan ini lebih dirasakan lagi oleh seorang yang berstatus sebagai pembantu (Sikambang), seperti Nan Gombang, Sutan Pangaduan.
Pada awalnya dendang-dendang sikambang ini dinyanyikan oleh tukang kaba tanpa iringan rabab. Melalui perjalanan waktu, akhirnya dendang-dendang ini diiringi dengan instrumen musik rabab. Musisinya langsung berperan sebagai tukang rabab dan tukang dendang yang bersifat tunggal. Bentuk kesenian inilah yang saat ini populer dengan nama rabab pasisia. Dalam konteks perkembangannya saat ini, masyarakat Pesisir Selatan, baik tua maupun muda sangat bangga dengan kesenian rabab pasisia yang dimiliki daerahnya. Mereka dapat terhibur dengan penyajian jenis kesenian ini, karena materi musikalnya dan teks yang komunikatif dengan generasi muda, tua, bahkan anak-anak. Oleh sebab itu, seni pertunjukan rabab pasisia memiliki fungsi hiburan yang tinggi bagi penikmatnya. Kesenian ini selalu diundang untuk memeriahkan berbagai konteks keramaian, seperti memeriahkan upacara perkawinan, peresmian gelar pusaka, upacara khitanan, peringatan hari-hari besar Nasional, pekan budaya, dan sebagainya.
Semakin berkembangnya materi musikal seni pertunjukan rabab pasisia, maka kesenian ini terdikotomi oleh pandangan masyarakat penikmatnya, yaitu rabab pasisia tradisi dan rabab pasisia kreasi baru. Rabab pasisia kreasi baru merupakan suatu pembaharuan konsep musikal yang cukup mengejutkan para budayawan dan para pengamat musik tradisional Minangkabau. Hal ini terlihat pada pengembangan materi musikal yang sangat aktual dan faktual saat ini dan terletak pada struktur penyajiannya yang hanya menyajikan teks pantun atau teks bebas (tidak berbentuk teks kaba) yaitu dikembangkan pada satu bagian khusus yang dinamakan dengan melodi raun sabalik, basulo basi, dan ginyang balantak. Teks yang digunakan pada bagian ini pada umumnya memiliki unsur-unsur lucu, serta pantun-pantun yang menggambarkan suasana muda-mudi. Seperti yang diungkapkan Bakhtiar (1994: 18), bahwa:
Pasisia, dari ketradisiannya pun berasimilasi atau terpengaruh oleh bentuk-bentuk seni musik lain, seperti irama pop Minang, dangdut. Alat musik ditambah dengan rebana atau gendang dan pemain ditambah dari tunggal menjadi dua atau tiga orang, dan tak jarang pemain wanita pun dipergunakan. Kita lihat contoh-contoh irama kreasi baru rabab pasisia: Raun Sabalik, biasa juga disebut ragam pasisia, berirama lagu-lagu pop Minang dan dangdut. Basi, disebut juga kasiah bajujuik, yang berasal dari pembauran irama sikambang, pantun dan syair tentang asmara. Balantak, disebut juga babatang tubuah atau ginyang mak taci, karena semua sampiran pantun tentang batang tubuh manusia, dalam irama ginyang. Berisikan sindiran dan cemooh tentang kejanggalan, kelucuan cara hidup dan kehidupan manusia, dibawakan dalam pantun jawab-berjawab, dan kalau perlu melibatkan audience, sehingga mereka kerasa terlibat dalam permainan.
Sementara itu, seni tutur kaba yang diiringi dengan rabab pasisia dan disajikan dengan irama lagu-lagu sikambang, merupakan materi teks utama dari rabab pasisia tradisi. Figur sikambang dengan segala penderitaannya, adalah lambang suatu kesedihan yang tiada taranya, namun agaknya kesedihan ini pun memiliki kualitas yang berbeda. Perbedaan tingkat kesedihan inilah yang dilahirkan dalam berbagai lagu sikambang sehingga suasana alur kaba (cerita) harus disesuaikan dengan kualitas kesedihan lagu-lagu sikambang tersebut. Adapun alur kaba yang dapat diidentifikasi dalam teks utama rabab pasisia tradisi, adalah sebagai berikut.
Sikambang tinggi, adalah merupakan lagu pembukaan dan selingan.
Sikambang Aia Haji. Aia Haji adalah sebuah sungai yang berbelok-belok, sekaligus sebuah nama nagari, dipakai sebagai pengisi waktu, sebelum masuk kepada kaba.
Sikambang Aia Tajun atau Sikambang Olai-olai, dipakai sebagai penekanan fragmen kaba yang dianggap penting, bagian ini biasanya juga dipakai untuk mengakhiri permainan.
Sikambang Lagan. Lagan adalah sebuah dataran rendah yang subur dikelilingi bukit, sawah luas yang disela oleh munggu (pulau-pulau daratan) dalam daerah Kecamatan Ranah Pesisir. Ilhamnya bersumber dari suasana angin lembut yang berhembus di Lagan. Sikambang Lagan dianggap lebih cocok untuk melahirkan kaba.
Sikambang Gadih Basanai. Gadih Basanai adalah sebuah kaba yang berisikan kisah anak manusia yang kandas dalam asmara. Bagian ini menyajikan irama sedih.
Sikambang Data atau Sikambang Randah, iramanya datar berhiba-hiba tanpa banyak cengkok, sangat cocok membawakan kaba.
Lagu Sikambang, adalah bagian paling sedih dan memilukan hati di antara lagu Sikambang. Bagi tukang kaba bagian ini dianggap sakral. Tema pada bagian ini adalah tentang penderitaan membesarkan anak dari kecil hingga dewasa.
Penyajian rabab pasisia yang membawakan dendang-dendang sikambang, mayoritas digemari oleh generasi tua. Oleh sebab itu, penyajiannya baru dimulai pada larut malam yaitu sekitar pukul 24.00 (tengah malam) hingga pukul 05.00 (menjelang pagi), sedangkan bagian lagu-lagu gembira sudah mulai disajikan dari pukul 20.00 hingga pukul 24.00. Penyajian bagian ini mendapat sambutan yang hangat dari generasi muda dan anak-anak, karena bagian ini memiliki nilai hiburan yang tinggi. Struktur penyajian bagian raun sabalik, basulo basi, dan ginyang balantak, merupakan salah satu bentuk kegiatan pengembangan rabab pasisia dari segi aspek musikalnya. Dengan demikian, dapat dikemukakan beberapa aspek musikal yang berkembang dalam pertunjukan rabab pasisia, diantaranya adalah sebagai berikut.
Prioritas utama pada teks-teks yang bersifat muda-mudi dan lucu dalam bentuk pantun, atau teks yang bersifat bebas. Teks jenaka yang dibawakan rabab pasisia sekarang adalah kaji sabatang tubuah dan Sutan Palembang. Di samping melodi tradisi yang telah ada, musisi rabab pasisia memasukkan pula melodi lagu Dendang Darek Minangkabau, lagu pop Minang, dan dangdut, sebagai lagu-lagu yang disajikan pada bagian struktur raun sabalik. Satu atau dua orang musisi pendamping yang berperan memainkan gendang untuk menyajikan lagu-lagu baru. Pemain gendang ini langsung pula berfungsi sebagai tukang dendang yang bersahut-sahutan dengan tukang rebab. Pada saat ini, tukang dendangnya sudah diperankan oleh wanita.

D. Simpulan
Sukses perkembangan rabab pasisia memang berawal dari hasil kreativitas si senimannya sendiri. Perubahan yang dilakukan pada dasarnya tidaklah menghilangkan keaslian bentuk penyajian secara tradisional, tetapi perubahan dilakukan dengan menyisipkan bentuk-bentuk baru pada bagian struktur raun sabalik, basulo basi, dan ginyang balantak.
Dampak dari perkembangan bentuk penyajian rabab pasisia yang dianggap semakin dinamis tersebut berakibat kepada semakin luasnya wilayah tempat penyajiannya. Saat ini tempat wilayah penyajian seni pertunjukan rabab pasisia tidak hanya terbatas dalam komunitas sempit masyarakat Pesisir Selatan saja, tetapi sudah mulai merambah ke wilayah lain dalam kawasan budaya inangkabau, seperti di Kota Padang, Payakumbuh, Bukittinggi Solok, dan lain sebagainya. Akhirnya seni pertunjukan ini menjadi salah satu jenis musik tradisional yang sangat populer di daerah budaya Minangkabau pada saat ini.

E. Kepustakaan
Amran, Rusli. 1981. Sumatra Barat Hingga Plakat Panjang. Jakarta: Sinar Harapan.
Bakhtiar. 1994. "Aspek dan Realita Rabab Pasisia di Pesisir Selatan." Makalah. Padang: Taman Budaya Padang.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan keempat, Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
L.E., Sumaryo. 1975. "Musik Tradisional Indonesia." Diktat. Jakarta: LPKJ/IKJ. Lukman Sinar, Tengku. 1986, "Perkembangan Sejarah Tari Melayu dan Usaha Pelestariannya", Makalah, Panitia Seminar Seni Budaya Melayu Indonesia, Sumatra Utara, Stabat.
Malm, William P. 1977. Music Cultures of the Pacific: The Near East, and Asia, New Jersey: Prentice-Hall, Inc., Englewood Cliffs,.
Mansoer, M.D., dkk. 1970, Sejarah Minangkabau, Bhratara, Jakarta.
Miller, Hugh M. t.t. Introduction to Music A Guide to Good Listening. Terj. Drs. Triyono Bramantyo P.S. t.t. dalam judul Pengantar Apresiasi Musik. Yogyakarta: ISI.
Prier Sj., Karl-Edmund. 1991. Sejarah Musik. Jilid 1. Yogyakarta: Pusat Musik Liturgi.
Shadily, Hassan dan John M. Echols. 1990, Kamus Indonesia-Inggris. Jakarta: Gramedia.
Shadily, Hassan. 1984. Enskolopedi Umum. Jakarta: Yayasan Kanisius.
Sp., Soedarso. 1990, Tinjauan Seni, Sebuah Pengantar untuk Apresiasi Seni, Cetakan ketiga, Saku Dayar Sana, Yogyakarta, p. 1.

Catatan Akhir:
-------------------------
1Demikian pengertian karawitan yang penulis ketahui, baik dari bahan-bahan perkuliahan maupun dari keterangan dosen yang memberikan kuliah semasa menempuh pendidikan Strata-1 di STSI Surakarta.
2Nagari mempunyai wilayah sendiri dengan batas-baras alam yang jelas, mempunyai pemerintahan yang berwibawa, ditaati oleh selutuh penduduk nagari. Pemerintahan nagari dilakukan oleh Dewan Kerapatan Adat. Anggota-anggotanya terdiri dari penghulu-penghulu andiko sebagai wakil keluarga (kaum), maupun suku. Pada hakekatnya, nagari adalah "republik otonomi" yang dengan sesamanya membentuk federasi longgar.
3Memainkan instrumen musik talempong langsung dipegang dengan tangan (tangan kiri atau tangan kanan ).
4Permainan jenis talempong tradisional Minangkabau yang instrumennya diletakkan di atas standar kayu (rea).
5Di Irian Jaya juga ditemui alat musik sejenis rebab yang ditemukan sebagai barang impor dari Maluku.
6Selain instrumen musik rebab, etnis Betawi juga memiliki instrumen musik sejenis bernama kongahyan dan sukong yang badannya terbuat dari bambu, serta alat musik gesek tehyan yang terbuat dari tempurung kelapa. Ketiga jenis alat musik gesek ini berasal dari pengaruh Cina.
7Kaba (dari kata Arab, khabar = berita). Dalam kesusastraan Minangkabau, kaba berarti prosa berirama yang dapat didendangkan. Kalimat-kalimatnya terdiri atas kesatuan-kesatuan kata yang semuanya bersuku tujuh sampai sepuluh. Kaba biasanya dinyatakan dengan irama atau didendangkan [dinyanyikan], sering diiringi saluang, rebab atau kecapi. Biasanya tukang kaba membacakan atau mendendangkan kaba itu pada waktu perayaan kawin, menaiki rumah, sunatan, dan sebagainya. Beberapa kaba yang lazim dibacakan ialah Kaba Cindua Mato, Kaba Nan Tongga Magek Jabang, Kaba Rambun Jalua (Lihat Hassan Shadily, 1984, Enskolopedi Umum, Yayasan Kanisius, Jakarta, p. 512.
8Penyajian teks suatu lagu yang membutuhkan energi pikiran untuk melahirkannya. Melodi dasar dendang dengan melodi dasar rebab sama, namun penyajian melodi rebab digarap secara bervariasi terhadap melodi dendangnya.

Minggu, 23 November 2008

MUSIK SIROMPAK

Pada sebuah kesempatan di suatu malam, suasana kelihatannya cerah dengan taburan bintang di langit. Dari balik rimbunnya pepohonan, rembulan pun muncul perlahan. Ketika orang-orang mulai berdatangan, bangku-bangku yang ditata rapi di halaman sebuah rumah serta tempat-tempat lowong di sekitarnya mulai terisi penuh. Beberapa yang tampak adalah Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang mengajak serta anak-anak mereka, sedangkan yang lainnya adalah anak-anak muda yang berdiri bergerombol di belakang dan di samping bangku-bangku yang tertata.
Kesempatan itu adalah di sebuah upacara sunat rasul (sunatan, khitanan) cucu pertama sebuah keluarga di Desa Parik Dalam Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Selesai upacara sunatan, malam harinya keluarga tersebut menyelenggarakan hiburan bagi anggota masyarakat lainnya dengan mengundang kelompok seniman musik sirompak yang ada di desa itu. Situasi ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang apakah ini merupakan upacara khitanan atau sebuah pertunjukan kesenian rakyat (musik sirompak). Mungkin ini memiliki kedua unsur tersebut.
Peristiwa di atas menunjukkan inti masalah penggunaan dan fungsi musik. Mengapa orang mengatur dan menyelenggarakan acara musik itu? Mengapa mereka menghadirinya? Makna dari kesemua itu, dapat dianggap sebagai cara musik dan peristiwa musik mempengaruhi perasaan dan perhatian orang.
Makna dan manfaat menganut sifat sama sebagai pandangan pengalaman subyektif individu. Kaemmer (1993:142-143) mengungkapkan bahwa, makna pada dasarnya akan menunjuk pada reaksi seseorang terhadap peristiwa musik yang diingat atau dialami, sedangkan manfaat adalah cara memadukan makna dalam merancang dan mewujudkan peristiwa musik. Makna yang diberikan orang pada musik merupakan bagian dari motivasinya, sedangkan perwujudan pertunjukan muncul dari motivasi ini. Bagian ini menekankan bagaimana makna musik dialihkan ke dalam tindakan sosial dan individu, serta dampak tindakan itu dalam masyarakat. Masalah penggunaan dan fungsi menyangkut kepada sumber motivasi ini. Motivasi dan tujuan masyarakat menghadiri pertunjukan adalah merupakan persoalan penggunaan musik. Apakah tujuan itu terujud? adalah merupakan masalah fungsi.
Musik tradisional Minangkabau—sebagaimana musik dalam kebudayaan manapun—terdiri dari musik vokal, musik instrumental, dan musik vokal-instrumental (gabungan keduanya). Salah satu keberagaman seni musik yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan musikal masyarakat di Minangkabau, adalah musik sirompak yang tergolong kepada jenis vokal-instrumental.
Aktivitas musik sirompak dalam masyarakat Taeh Baruah, berawal dari pemanfaatan unsur-unsur musikal yang terdapat dalam aktivitas basirompak, yaitu suatu bentuk upacara ritual magis yang dilakukan oleh seorang pawang sirompak (dukun) dengan tujuan untuk menaklukkan hati seorang perempuan yang telah menghina seorang laki-laki. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kegiatan ini diselenggarakan di tujuh tanjung yang terdapat di Taeh Baruah. Sebelum melakukan upacara, pihak yang meminta penyelenggaraan upacara ini terlebih dahulu harus menyiapkan pambaokan (sesaji) yang berupa: nasi kuning, bareh rondang (beras yang telah direndang), bungo panggia-panggia (semacam kembang setaman), kemenyan, serta salah satu unsur yang ada pada diri perempuan yang dituju (misalnya rambut, kuku, bagian dari pakaian, foto, dan lain sebagainya). Di samping itu, pawang sirompak juga menyiapkan sebuah gasiang (gasing) yang terbuat dari bagian tengkorak kepala manusia (masyarakat setempat menyebutnya gasiang tangkurak). Dengan semua kelengkapan tersebut, pawang sirompak melaksanakan tugasnya.
Pada masing-masing tanjung yang didatangi, tukang sirompak menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan, kemudian mulai melafazkan mantra-mantranya. Pelafazan mantra-mantra ini adalah dengan cara dilagukan/didendangkan sendiri oleh pawang sambil memainkan gasiang tangkurak. Mantra-mantra yang didendangkan oleh pawang tersebut, diiringi pula oleh sebuah alat musik tiup terbuat dari bambu (masyarakat setempat menyebutnya saluang sirompak). Demikian hal ini dilakukan berturut-turut di ketujuh tanjung itu.
Perubahan aktivitas ritual magis basirompak yang mengandung unsur-unsur musikal kepada suatu bentuk pertunjukan musik sirompak, pada dasarnya dianggap sebagai variasi dalam peniruan norma budaya baru dari generasi satu ke generasi berikutnya. Hal itu dapat diamati dari cara generasi sekarangsebagai anggota masyarakat baruhidup di sekitarnya. Pengetahuan atau sistem nilai yang berkembang di lingkungannya, akan sangat berpengaruh kepada tingkah laku dan perkembangan berpikir anggota masyarakat baru tersebut. Sejajar dengan hal itu, Kaemmer (1993:179) mengungkapkan:
The individual’s musical behavior is heavily influenced by society through incentives and constraints, which are imposed by circumstanses. The incentives and constraints may be determined by the natural environment, common human psychological motivations, internal social factor, an contact with other societies.
Pada saat lingkugan budaya masyarakat Taeh Baruah belum dimasuki unsur-unsur budaya dari luar, yang berlaku adalah adat-istiadat yang mengandung aturan-aturan atau norma-norma yang sudah ada, yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Anggota masyarakat baru (generasi sesudahnya) menyerap pengetahuan dan pengalaman dari lingkungan sebagaimana adanya pada waktu itu. Namun ketika terjadi kontak dengan budaya barubudaya yang datang dari luar lingkungan alaminyamasyarakat baru itu mulai pula mengetahui dan menyerap hal-hal baru yang bahkan sama sekali bertentangan dengan aturan-aturan atau norma-norma yang selama ini membentuk tingkah laku mereka.
Menjelang Islam masuk ke Minangkabau, adat yang aslinya animistik dan dinamistik serta sudah berakulturasi dengan unsur-unsur Hindu-Budha, adalah satu-satunya pedoman hidup kemasyarakatan dan menuntut kepatuhan dari seluruh anggota masyarakatnya. Setelah itu terdapat pula pedoman kedua yang juga menuntut kepatuhan dan bahkan lebih ketat, yaitu Islam. Sebelum Islam menjadi agama mereka, pedoman hidup bermasyarakat adalah bersumber dari nenek moyang, namun setelah Islam dianut, pedoman hidup bermasyarakat mereka bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Seperti diungkapkan oleh Sidi Gazalba (1974:11), “sumber adat adalah nenek moyang, sumber Islam adalah Allah”.
Sampai ke penghujung abad ke-19, penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau pada umumnya, masih sangat diwarnai oleh unsur-unsur animisme dan dinamisme, warisan nenek moyang mereka. Para alim ulama lebih-lebih yang beraliran tarekat membiarkan saja hal tersebut berlangsung. Bahkan mereka sendiri diketahui sangat banyak melakukan amalan-amalan yang tergolong bid’ah dan khurafat serta menjurus kepada syirik. Ketaatan mereka terhadap Islam masih campur aduk dan menurut Hamka, (1982:15) “mereka baru bernama Islam saja, tetapi belum benar-benar mengamalkan Islam yang sejati”, yaitu Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah semata.
Ajaran Islam di Minangkabau baru benar-benar diamalkan berdasarkan syari’atnya, setelah terjadi pergolakan agamaberlanjut dengan perang Padriyang dipelopori oleh tiga orang ulama yang baru kembali dari Makkah menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan keagamaan mereka (Daya, 1995:45-58; Hamka, 1984:150-151; Dobbin, 1992:152-170). Pergolakan agama tersebut pada akhirnya dapat diakhiri dengan kesepakatan antara kaum agama dan kaum adat, yaitu dengan semakin diperkokohnya keberadaan pepatah “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” (Yunus, 1993:23).
Setelah Islam dianut sebagai agama oleh masyarakat Minangkabau pada umumnya, termasuk oleh masyarakat Taeh Baruah, berbagai tatanan kehidupan dalam masyarakat Minangkabau banyak yang mengalami perubahan, dalam arti, aturan dan nilai-nilai adat-istiadat yang diwarisi dari dua leluhur yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang, disesuaikan dengan nilai-nilai dan aturan-aturan yang ada dalam ajaran Islam. Peraturan-peraturan berdasarkan syari’at agama Islam berkembang dengan berangsur-angsur, adat-adat yang bertentangan dengan ajaran Islam lambat laun ditinggalkan orang (Yunus, 1993:Ibid). Salah satu perubahan terpenting yang berkaitan dengan topik penulisan ini serta terkait erat dengan diterapkannya nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Taeh Baruah, adalah perubahan penggunaan dan fungsi aktivitas basirompak dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan utama penggunaan aktivitas ritual magis basirompak adalah, untuk mempengaruhi semangat perempuan yang telah menghina dan menolak cinta seorang laki-laki agar berbalik menjadi menyukai/tergila-gila. Sedangkan tujuannya yang lebih ekstrim lagi adalah untuk mencelakakan perempuan tersebut (membuatnya menjadi gila). Oleh karena itu, menurut ajaran Islam aktivitas ritual magis basirompak lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya, seperti yang diungkapkan Nizam (Wawancara, 10 Oktober 1998) bahwa, “penyelenggaraan aktivitas ritual magis basirompak bertentangan dengan ajaran Islam, karena akibat yang ditimbulkan lebih terasa merugikan dan bahkan mengacaukan stabilitas dalam kehidupan bermasyarakat”.
Menjadikan seorang perempuan dari waras menjadi gila dapat dikategorikan sebagai tindakan penganiayaan. Menurut Islam, tindakan penganiayaan terhadap sesama manusia termasuk perbuatan yang hina. Dengan demikian penyelenggaraan aktivitas ritual magis basirompak mengakibatkan hubungan antara sesama manusia menjadi tidak harmonis. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat 3 (Ali-Imran) ayat 112 bahwa:
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah...”.
Faktor-faktor tersebut di atas, langsung atau tidak adalah merupakan penyebab terpinggirkannya aktivitas ritual magis basirompak dari komunitas sosial budaya masyarakat Taeh Baruah. Kondisi tersebut sejalan dengan ungkapan Kaemmer (1993:196) bahwa, Changes in social conditions due to culture contact have produced indirect change in music (”Perubahan kondisi sosial karena hubungan budaya telah menimbulkan perubahan tak langsung dalam musik”), dan sejak tahun 50-an aktivitas ritual magis basirompak tidak lagi digunakan/diselenggarakan secara terang-terangan.
Aktivitas basirompak hadir dalam bentuknya yang baru--diperkirakan mulai lagi muncul sejak awal tahun 70-an--yaitu sebagai sebuah bentuk pertunjukan musik dengan mengambil semua unsur musikal yang terdapat dalam aktivitas ritual magis tersebut, yaitu yang terdiri dari unsur vokal (dendang) dan instrumen musik (alat musik tiup saluang sirompak). Tentu saja dari segi isi dan bentuk penyajiannya disesuaikan dengan kebutuhan sebuah pertunjukan yang bersifat hiburan. Misalnya, aktivitas ritual magis basirompak yang biasanya diselenggarakan di tempat-tempat yang sepi dari manusia, untuk kepentingan hiburan tentu tidak demikian, tetapi mulai disediakan sarana dan prasarana yang memadai, umpamanya diselenggarakan di pesta-pesta perkawinan, di pesta-pesta yang diadakan oleh anak nagari (anggota masyarakat) ketika menyambut datangnya hari-hari besar keagamaan atau hari-hari besar nasional, bahkan berkat kreativitas masyarakat pendukung budaya ini, basirompak juga digarap untuk disajikan dalam pertunjukan randai (jenis teater tradisional masyarakat Minangkabau) yang memang sudah lama populer dalam kehidupan berkesenian masyarakat Taeh Baruah.
Kaemmer (1993:174) mengungkapkan bahwa, Changes occur both in the sounds of music and in its meanings, uses, and functions (”Perubahan terjadi baik dalam bunyi musik maupun makna, penggunaan, dan fungsinya”). Dalam kasus musik sirompak sebagai bentuk pertunjukan hiburan, perubahan bunyidalam arti perubahan nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen musiknyatidak terjadi. Hanya saja, perubahan bunyi yang dimaksud bukanlah perubahan bunyi semata, tetapi pada dasarnya perubahan bunyi tersebut menyangkut juga kepada perubahan gaya. Seperti yang diungkapkan Kaemmer (1993:Ibid) selanjutnya bahwa, changes in the sound are essentially changes in style (“Perubahan bunyi pada dasarnya adalah perubahan gaya”).
Perubahan gaya yang terjadi dalam basirompak dapat dilihat dari tempat penyajiannya serta instrumen musik yang mengiringi dendang-dendang sirompak, sedangkan repertoire atau khasanah musik yang disajikan tidak mengalami perubahan.
Tempat penyelenggaraan aktivitas basirompak yang biasanyauntuk kepentingan ritual magisdilakukan di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, dalam bentuknya yang baru yaitu untuk kepentingan hiburan, tempat penyelenggaraan musik sirompak dialihkan ke tempat-tempat yang lebih cocok dikatakan sebagai sebuah tempat pertunjukan, misalnya disajikan dalam pesta-pesta perkawinan atau pesta-pesta lainnya yang diselenggarakan oleh anak nagari. Adapun instrumen musik yang biasanya memakai saluang sirompak saja, dalam perubahannya telah dimanfaatkan pula instrumen rabab (rebab) untuk mengiringi dendang-dendang sirompak. Di samping itu, unsur-unsur musikal yang ada dalam aktivitas basirompak, oleh seniman tradisional pendukung aktivitas musik sirompak itu diolah untuk disajikan ke dalam teater tradisional mereka, yaitu randai. Untuk menjadikan randai masyarakat Taeh Baruah semakin menarik, direkayasa pula sebuah cerita untuk randai tersebut yaitu kisah kegagalan cinta sepasang muda-mudi, yang pada akhirnya diselesaikan dengan upacara ritual magis (dalam cerita randai tersebut).
Sejalan dengan perubahan penggunaan tersebut di atas, terjadi pula perubahan terhadap fungsi aktivitas basirompak bagi masyarakat pendukungnya, baik bagi senimannya maupun bagi masyarakat Taeh Baruah pada umumnya, yang merasa ikut memiliki keberadaan musik sirompak.
Menurut Kaemmer (1993:149), aktivitas musik memiliki dampak dalam tiga komponen sistem sosial budaya yaitu, ungkapan, materi, dan sosial. Jadi pemahaman tentang peran musik dalam kehidupan manusia perlu mengamati bagaimana musik dihubungkan dengan semuanya, terutama menyangkut hubungan musik dengan batin manusia, merupakan masalah yang jauh lebih rumit. Jadi, apa yang dilakukan oleh sebagian besar laki-laki di Taeh Baruah yang memanfaatkan musik dalam aktivitas ritual magis basirompaklewat perantaraan pawang, aspek pemenuhan atas kebutuhan biologis, pada dasarnya adalah merupakan dampak objektif yang oleh banyak peneliti tentang hal yang sama, disebut sebagai fungsi tersembunyi.
Setelah mengalami perubahan menjadi sebuah bentuk seni pertunjukan, yaitu musik sirompak, fungsi pemenuhan atas kebutuhan biologis yang selama ini terselubung dalam penyelenggaraan aktivitas ritual magis basirompak, secara otomatis bergeser kepada fungsi lainnya, yaitu fungsi kenikmatan dan hiburan, serta fungsi ikatan sosial. Fungsi semacam itu merupakan dampak dari tindakan penyelenggaraan musik sirompak yang disengajauntuk memeriahkan berbagai pesta yang diselenggarakan oleh anggota masyarakat—meskipun anggota masyarakat tersebut tidak memikirkannya sebagai tujuan dari penyelenggaraan aktivitas itu.
Berkaitan dengan hal di atas, sebagai imbangan dari penggunaan musik dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, Merriam (1980:219-226) mengemukakan 10 fungsi musik sebagai berikut: (1) fungsi ekspresi emosional, (2) fungsi kenikmatan estetis, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi rekreasi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) fungsi kesinambungan norma-norma sosial, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.
Tidak kesepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam tersebut di atas, dapat ditemukan dalam aktivitas musik sirompak sebagai sebuah bentuk pertunjukan hiburan. Beberapa di antaranya yang dapat diidentifikasi, adalah sebagai berikut.
a. Fungsi Ekspresi Emosi
“Memang jarang sekali musik itu hanya bunyi semata-mata. Acap kali ia merupakan pengakuan manusia, sejarah kemanusiaan. Acap kali ia menceritakan suka dan duka manusia, semangatnya dan kebutuhannya” (Ackere. t.t.:7). Pada tingkat yang lebih umum, bagaimana pun musik tampak jelas terlibat dengan emosi dan sebagai alat untuk ekspresi.
Kaemmer (1993:154) menyebutnya sebagai music as self-expression. Ungkapan ini sering dihubungkan dengan kebutuhan psikologis dan keutuhan pribadi individu. Banyak masyarakat mengakui makna aspek musik ini. Musik memiliki dampak menenangkan pada individu, dan memungkinkan mereka “melepaskan sesuatu dari benaknya”.
Pada pertunjukan musik sirompak, emosi dan ekspresi yang terkandung di dalamnya dapat diungkapkan melalui kalimat lagu yang didendangkan oleh tukang dendang. Untuk membantu mewujudkan emosi dan ekspresi yang disampaikan oleh tukang dendang, tukang saluang menyalurkan pula emosi dan ekspresinya lewat tiupan saluang sirompaknya, yang sekaligus mengiringi dendang tersebut.
Emosi dan ekspresi yang disalurkan bersamaan oleh para pemain dengan media ungkapnya masing-masing, diakomodasikan ke dalam bermacam-macam kalimat dendang. Kalimat-kalimat dendang tersebut dapat saja berupa ungkapan kegembiraan, atau ungkapan kesedihan. Hal tersebut sangat tergantung kepada suasana yang melingkupi pertunjukan pada saat itu, atau suasana hati tukang dendang. Oleh karena itu, musik sirompak sebagai pertunjukan dapat berfungsi—terutama bagi pemain—sebagai alat ekspresi emosi yang cenderung bersifat khusus. Emosi yang diekspresikan itu, sesuai dengan suasana kejiwaan masing-masing pemain pada saat mereka mempergunakan media ungkapnya.
b. Fungsi Hiburan
Seperti halnya musik dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, dapat memberikan hiburan kepada anggota masyarakat tersebut. Begitu pula pertunjukan musik sirompak dapat memberikan hiburan kepada masyarakat Taeh Baruah. Hanya saja dalam hal ini, terdapat suatu perbedaan antara hiburan “murni” yang merupakan ciri khusus musik dalam kehidupan masyarakat Barat, dan hiburan yang bergabung dengan fungsi yang lain sebagai ciri yang lazim dalam masyarakat yang tidak mengenal tulisan (nonliterate). Sejalan dengan hal itu, Merriam (1980:223) mengungkapkan bahwa:
Music provides an entertainment function in all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular feature of musik in Western society, and entertainment combined with other functions. The latter may well be a more prevalent feature of nonliterate societies.
Masyarakat Taeh baruah yang boleh dikatakan masih sederhana, tidak mengenal tradisi tulisan dalam kebudayaan musik mereka. Oleh sebab itu, fungsi hiburan musik sirompak selalu bergabung dengan fungsi-fungsi yang lain pada saat musik itu dipertunjukkan.
Sesuai dengan kebiasaan pertunjukan musik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau pada umumnya, demikian pula halnya dengan pertunjukan musik sirompak dalam kehidupan masyarakat Taeh Baruah, yang selalu menyertai suatu upacara atau pesta-pesta perkawinan. Di dalam keberlangsungan suatu upacara atau pesta-pesta perkawinan tersebut, musik sirompak memberikan hiburan kepada orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan pada upacara atau pesta itu. Hal ini terlihat dari reaksi atau respon mereka terhadap kalimat-kalimat dendang yang dilantunkan oleh tukang dendang. Reaksi atau respon tersebut dapat berupa tambahan atau sambungan dengan pantun-pantun yang secara spontan terucapkan oleh orang-orang yang sedang melakukan pekerjaan di sekitar tempat ber-langsungnya pertunjukan, terhadap kalimat-kalimat pantun tukang dendang yang memang sengaja tidak diselesaikan. Kadang-kadang respon atau reaksi yang muncul adalah berupa pembicaraan di antara orang-orang tersebut mengenai isi pantun yang disajikan oleh tukang dendang.
Keterhiburan mereka oleh pertunjukan musik sirompak, antara lain tercermin dari keceriaan mereka dalam melakukan aktivitas masing-masing, yang dalam kelakarnya menyinggung pertunjukan yang sedang berlangsung, bahkan di antara mereka ada pula yang menyenandungkan melodi musik yang sedang berlangsung. Kondisi seperti demikian itu, dapat dikatakan sebagai pencerminan dari apa yang dimaksud oleh Huizinga 1990:226; Kaemmer, 1993:151-153, bahwa “hakekat semua kegiatan musik adalah permainan dan itu merupakan fakta primernya yang diakui di mana-mana walaupun ia tidak terucapkan secara eksplisit”.
Kenyataan terhiburnya orang-orang oleh pertunjukan musik sirompak, secara umum tercermin dalam perilaku mereka yang penuh suasana gembira, ceria, berkelakar, maupun cemoohan, yang berkaitan dengan pertunjukan. Fenomena ini bisa saja terjadi di tengah berlangsungnya pertunjukan musik sirompak atau pada waktu istirahat para pemain.
Demikian pertunjukan musik sirompak berfungsi hiburan dalam kehidupan masyarakat Taeh Baruah, di samping fungsi lain yang mungkin diberikannya sesuai dengan tradisi pertunjukan musik tersebut yang selalu menyertai suatu kegiatan upacara atau pesta-pesta yang diselenggarakan oleh anak nagari (anggota masyarakat).
c. Fungsi Komunikasi
Pada bagian ini akan dilihat bagaimana musik sirompak sebagai fungsi komunikasi digunakan. Dalam penyajiannya, terlihat ketika tukang dendang melagukan pantun-pantun yang isinya berhubungan dengan, misalnya mengungkapkan perasaan cinta.
Tatkala seseorang sudah kehabisan akal bagaimana mengutarakan maksud hatinya kepada seseorang yang dicintainya, tukang dendang dengan keahliannya menciptakan pantun-pantun adalah solusi yang tepat untuk itu. Diharapkan dengan bantuan tukang dendang, maksud hati dan perasaan cintanya akan dapat diketahui oleh orang yang menjadi pujaan hatinya. Kondisi yang demikian tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Kaemmer (1993:155) bahwa: “Music is sometimes performed specificaly for the porpuse of communication. A good example of this use is the lullaby, when a parent sings to express love, to entertain a child, and, it is hoped, to put it to sleep” (“Musik kadang-kadang dimainkan secara khusus untuk tujuan komunikasi. Contoh penggunaan ini adalah lagu pengantar tidur anak-anak, ketika orang tua menyanyi untuk mengungkapkan rasa cinta, untuk menghibur seorang anak, dan untuk membuat anaknya tertidur”). Dalam ungkapan yang lain, tetapi kurang lebih mengandung maksud yang sama, Merriam (1980:223) mengungkapkan pula bahwa:
Music is not universal language, but rather is shaped in terms of the culture of which it is a part. In the song texts it employes, it communicates direct information to those who understand the language in which it is coushed. It conveys emotion, or something similar to emotion, to those who understand it idiom.
Musik sirompak kadangkala juga menyajikan pantun-pantun berisikan ungkapan cinta. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat dari pantun-pantun dendang berikut.

Kok basayok tabang ka gunuang,
tiok tanjuang alah den jajak.
Adiak tabayang dalam jantuang,
aia mato kakariang tidak.
Ayam kuriak rambaian taduang,
ikua manjelo masuak padi,
jo tampuruang barilah makan.
Dalam daerah tujuah kampuang,
tuan surang nan cinto hati,
nan lain buliah den haramkan.

Manangih sapanjang jalan,
mamakiak sampai ka gunuang,
nan bak mambilang kayu mati.
Tuan kanduang japuiklah badan,
sakik nan tido tatangguangkan
raso kaputuih jantuang hati.

Beberapa contoh pantun tersebut di atas mengandung makna ungkapan perasaan hati seseorang terhadap lawan jenis yang dicintainya. Dengan mengungkapkannya lewat dendang, diharapkan akan terjadi komunikasi dengan seseorang yang dituju atau dimaksud di dalam pantun-pantun tersebut.

Jumat, 27 Juni 2008

SELAMAT DATANG DI BLOG ANAK PASISIA.............................