Minggu, 23 November 2008

MUSIK SIROMPAK

Pada sebuah kesempatan di suatu malam, suasana kelihatannya cerah dengan taburan bintang di langit. Dari balik rimbunnya pepohonan, rembulan pun muncul perlahan. Ketika orang-orang mulai berdatangan, bangku-bangku yang ditata rapi di halaman sebuah rumah serta tempat-tempat lowong di sekitarnya mulai terisi penuh. Beberapa yang tampak adalah Bapak-bapak dan Ibu-ibu yang mengajak serta anak-anak mereka, sedangkan yang lainnya adalah anak-anak muda yang berdiri bergerombol di belakang dan di samping bangku-bangku yang tertata.
Kesempatan itu adalah di sebuah upacara sunat rasul (sunatan, khitanan) cucu pertama sebuah keluarga di Desa Parik Dalam Taeh Baruah, Kecamatan Payakumbuh, Kabupaten Limapuluh Kota, Sumatera Barat. Selesai upacara sunatan, malam harinya keluarga tersebut menyelenggarakan hiburan bagi anggota masyarakat lainnya dengan mengundang kelompok seniman musik sirompak yang ada di desa itu. Situasi ini pada akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang apakah ini merupakan upacara khitanan atau sebuah pertunjukan kesenian rakyat (musik sirompak). Mungkin ini memiliki kedua unsur tersebut.
Peristiwa di atas menunjukkan inti masalah penggunaan dan fungsi musik. Mengapa orang mengatur dan menyelenggarakan acara musik itu? Mengapa mereka menghadirinya? Makna dari kesemua itu, dapat dianggap sebagai cara musik dan peristiwa musik mempengaruhi perasaan dan perhatian orang.
Makna dan manfaat menganut sifat sama sebagai pandangan pengalaman subyektif individu. Kaemmer (1993:142-143) mengungkapkan bahwa, makna pada dasarnya akan menunjuk pada reaksi seseorang terhadap peristiwa musik yang diingat atau dialami, sedangkan manfaat adalah cara memadukan makna dalam merancang dan mewujudkan peristiwa musik. Makna yang diberikan orang pada musik merupakan bagian dari motivasinya, sedangkan perwujudan pertunjukan muncul dari motivasi ini. Bagian ini menekankan bagaimana makna musik dialihkan ke dalam tindakan sosial dan individu, serta dampak tindakan itu dalam masyarakat. Masalah penggunaan dan fungsi menyangkut kepada sumber motivasi ini. Motivasi dan tujuan masyarakat menghadiri pertunjukan adalah merupakan persoalan penggunaan musik. Apakah tujuan itu terujud? adalah merupakan masalah fungsi.
Musik tradisional Minangkabau—sebagaimana musik dalam kebudayaan manapun—terdiri dari musik vokal, musik instrumental, dan musik vokal-instrumental (gabungan keduanya). Salah satu keberagaman seni musik yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan musikal masyarakat di Minangkabau, adalah musik sirompak yang tergolong kepada jenis vokal-instrumental.
Aktivitas musik sirompak dalam masyarakat Taeh Baruah, berawal dari pemanfaatan unsur-unsur musikal yang terdapat dalam aktivitas basirompak, yaitu suatu bentuk upacara ritual magis yang dilakukan oleh seorang pawang sirompak (dukun) dengan tujuan untuk menaklukkan hati seorang perempuan yang telah menghina seorang laki-laki. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, kegiatan ini diselenggarakan di tujuh tanjung yang terdapat di Taeh Baruah. Sebelum melakukan upacara, pihak yang meminta penyelenggaraan upacara ini terlebih dahulu harus menyiapkan pambaokan (sesaji) yang berupa: nasi kuning, bareh rondang (beras yang telah direndang), bungo panggia-panggia (semacam kembang setaman), kemenyan, serta salah satu unsur yang ada pada diri perempuan yang dituju (misalnya rambut, kuku, bagian dari pakaian, foto, dan lain sebagainya). Di samping itu, pawang sirompak juga menyiapkan sebuah gasiang (gasing) yang terbuat dari bagian tengkorak kepala manusia (masyarakat setempat menyebutnya gasiang tangkurak). Dengan semua kelengkapan tersebut, pawang sirompak melaksanakan tugasnya.
Pada masing-masing tanjung yang didatangi, tukang sirompak menyiapkan sesaji dan membakar kemenyan, kemudian mulai melafazkan mantra-mantranya. Pelafazan mantra-mantra ini adalah dengan cara dilagukan/didendangkan sendiri oleh pawang sambil memainkan gasiang tangkurak. Mantra-mantra yang didendangkan oleh pawang tersebut, diiringi pula oleh sebuah alat musik tiup terbuat dari bambu (masyarakat setempat menyebutnya saluang sirompak). Demikian hal ini dilakukan berturut-turut di ketujuh tanjung itu.
Perubahan aktivitas ritual magis basirompak yang mengandung unsur-unsur musikal kepada suatu bentuk pertunjukan musik sirompak, pada dasarnya dianggap sebagai variasi dalam peniruan norma budaya baru dari generasi satu ke generasi berikutnya. Hal itu dapat diamati dari cara generasi sekarangsebagai anggota masyarakat baruhidup di sekitarnya. Pengetahuan atau sistem nilai yang berkembang di lingkungannya, akan sangat berpengaruh kepada tingkah laku dan perkembangan berpikir anggota masyarakat baru tersebut. Sejajar dengan hal itu, Kaemmer (1993:179) mengungkapkan:
The individual’s musical behavior is heavily influenced by society through incentives and constraints, which are imposed by circumstanses. The incentives and constraints may be determined by the natural environment, common human psychological motivations, internal social factor, an contact with other societies.
Pada saat lingkugan budaya masyarakat Taeh Baruah belum dimasuki unsur-unsur budaya dari luar, yang berlaku adalah adat-istiadat yang mengandung aturan-aturan atau norma-norma yang sudah ada, yang diwarisi dari generasi sebelumnya. Anggota masyarakat baru (generasi sesudahnya) menyerap pengetahuan dan pengalaman dari lingkungan sebagaimana adanya pada waktu itu. Namun ketika terjadi kontak dengan budaya barubudaya yang datang dari luar lingkungan alaminyamasyarakat baru itu mulai pula mengetahui dan menyerap hal-hal baru yang bahkan sama sekali bertentangan dengan aturan-aturan atau norma-norma yang selama ini membentuk tingkah laku mereka.
Menjelang Islam masuk ke Minangkabau, adat yang aslinya animistik dan dinamistik serta sudah berakulturasi dengan unsur-unsur Hindu-Budha, adalah satu-satunya pedoman hidup kemasyarakatan dan menuntut kepatuhan dari seluruh anggota masyarakatnya. Setelah itu terdapat pula pedoman kedua yang juga menuntut kepatuhan dan bahkan lebih ketat, yaitu Islam. Sebelum Islam menjadi agama mereka, pedoman hidup bermasyarakat adalah bersumber dari nenek moyang, namun setelah Islam dianut, pedoman hidup bermasyarakat mereka bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Seperti diungkapkan oleh Sidi Gazalba (1974:11), “sumber adat adalah nenek moyang, sumber Islam adalah Allah”.
Sampai ke penghujung abad ke-19, penghayatan dan pengamalan terhadap ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Minangkabau pada umumnya, masih sangat diwarnai oleh unsur-unsur animisme dan dinamisme, warisan nenek moyang mereka. Para alim ulama lebih-lebih yang beraliran tarekat membiarkan saja hal tersebut berlangsung. Bahkan mereka sendiri diketahui sangat banyak melakukan amalan-amalan yang tergolong bid’ah dan khurafat serta menjurus kepada syirik. Ketaatan mereka terhadap Islam masih campur aduk dan menurut Hamka, (1982:15) “mereka baru bernama Islam saja, tetapi belum benar-benar mengamalkan Islam yang sejati”, yaitu Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah semata.
Ajaran Islam di Minangkabau baru benar-benar diamalkan berdasarkan syari’atnya, setelah terjadi pergolakan agamaberlanjut dengan perang Padriyang dipelopori oleh tiga orang ulama yang baru kembali dari Makkah menunaikan ibadah haji dan memperdalam pengetahuan keagamaan mereka (Daya, 1995:45-58; Hamka, 1984:150-151; Dobbin, 1992:152-170). Pergolakan agama tersebut pada akhirnya dapat diakhiri dengan kesepakatan antara kaum agama dan kaum adat, yaitu dengan semakin diperkokohnya keberadaan pepatah “adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah” (Yunus, 1993:23).
Setelah Islam dianut sebagai agama oleh masyarakat Minangkabau pada umumnya, termasuk oleh masyarakat Taeh Baruah, berbagai tatanan kehidupan dalam masyarakat Minangkabau banyak yang mengalami perubahan, dalam arti, aturan dan nilai-nilai adat-istiadat yang diwarisi dari dua leluhur yaitu Datuk Katumanggungan dan Datuk Parpatiah Nan Sabatang, disesuaikan dengan nilai-nilai dan aturan-aturan yang ada dalam ajaran Islam. Peraturan-peraturan berdasarkan syari’at agama Islam berkembang dengan berangsur-angsur, adat-adat yang bertentangan dengan ajaran Islam lambat laun ditinggalkan orang (Yunus, 1993:Ibid). Salah satu perubahan terpenting yang berkaitan dengan topik penulisan ini serta terkait erat dengan diterapkannya nilai-nilai ajaran Islam dalam kehidupan masyarakat Taeh Baruah, adalah perubahan penggunaan dan fungsi aktivitas basirompak dalam kehidupan masyarakat.
Tujuan utama penggunaan aktivitas ritual magis basirompak adalah, untuk mempengaruhi semangat perempuan yang telah menghina dan menolak cinta seorang laki-laki agar berbalik menjadi menyukai/tergila-gila. Sedangkan tujuannya yang lebih ekstrim lagi adalah untuk mencelakakan perempuan tersebut (membuatnya menjadi gila). Oleh karena itu, menurut ajaran Islam aktivitas ritual magis basirompak lebih banyak mudharatnya dari pada manfaatnya, seperti yang diungkapkan Nizam (Wawancara, 10 Oktober 1998) bahwa, “penyelenggaraan aktivitas ritual magis basirompak bertentangan dengan ajaran Islam, karena akibat yang ditimbulkan lebih terasa merugikan dan bahkan mengacaukan stabilitas dalam kehidupan bermasyarakat”.
Menjadikan seorang perempuan dari waras menjadi gila dapat dikategorikan sebagai tindakan penganiayaan. Menurut Islam, tindakan penganiayaan terhadap sesama manusia termasuk perbuatan yang hina. Dengan demikian penyelenggaraan aktivitas ritual magis basirompak mengakibatkan hubungan antara sesama manusia menjadi tidak harmonis. Hal ini ditegaskan dalam Al-Qur’an surat 3 (Ali-Imran) ayat 112 bahwa:
“Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah...”.
Faktor-faktor tersebut di atas, langsung atau tidak adalah merupakan penyebab terpinggirkannya aktivitas ritual magis basirompak dari komunitas sosial budaya masyarakat Taeh Baruah. Kondisi tersebut sejalan dengan ungkapan Kaemmer (1993:196) bahwa, Changes in social conditions due to culture contact have produced indirect change in music (”Perubahan kondisi sosial karena hubungan budaya telah menimbulkan perubahan tak langsung dalam musik”), dan sejak tahun 50-an aktivitas ritual magis basirompak tidak lagi digunakan/diselenggarakan secara terang-terangan.
Aktivitas basirompak hadir dalam bentuknya yang baru--diperkirakan mulai lagi muncul sejak awal tahun 70-an--yaitu sebagai sebuah bentuk pertunjukan musik dengan mengambil semua unsur musikal yang terdapat dalam aktivitas ritual magis tersebut, yaitu yang terdiri dari unsur vokal (dendang) dan instrumen musik (alat musik tiup saluang sirompak). Tentu saja dari segi isi dan bentuk penyajiannya disesuaikan dengan kebutuhan sebuah pertunjukan yang bersifat hiburan. Misalnya, aktivitas ritual magis basirompak yang biasanya diselenggarakan di tempat-tempat yang sepi dari manusia, untuk kepentingan hiburan tentu tidak demikian, tetapi mulai disediakan sarana dan prasarana yang memadai, umpamanya diselenggarakan di pesta-pesta perkawinan, di pesta-pesta yang diadakan oleh anak nagari (anggota masyarakat) ketika menyambut datangnya hari-hari besar keagamaan atau hari-hari besar nasional, bahkan berkat kreativitas masyarakat pendukung budaya ini, basirompak juga digarap untuk disajikan dalam pertunjukan randai (jenis teater tradisional masyarakat Minangkabau) yang memang sudah lama populer dalam kehidupan berkesenian masyarakat Taeh Baruah.
Kaemmer (1993:174) mengungkapkan bahwa, Changes occur both in the sounds of music and in its meanings, uses, and functions (”Perubahan terjadi baik dalam bunyi musik maupun makna, penggunaan, dan fungsinya”). Dalam kasus musik sirompak sebagai bentuk pertunjukan hiburan, perubahan bunyidalam arti perubahan nada-nada yang dihasilkan oleh instrumen musiknyatidak terjadi. Hanya saja, perubahan bunyi yang dimaksud bukanlah perubahan bunyi semata, tetapi pada dasarnya perubahan bunyi tersebut menyangkut juga kepada perubahan gaya. Seperti yang diungkapkan Kaemmer (1993:Ibid) selanjutnya bahwa, changes in the sound are essentially changes in style (“Perubahan bunyi pada dasarnya adalah perubahan gaya”).
Perubahan gaya yang terjadi dalam basirompak dapat dilihat dari tempat penyajiannya serta instrumen musik yang mengiringi dendang-dendang sirompak, sedangkan repertoire atau khasanah musik yang disajikan tidak mengalami perubahan.
Tempat penyelenggaraan aktivitas basirompak yang biasanyauntuk kepentingan ritual magisdilakukan di tempat-tempat yang jauh dari keramaian, dalam bentuknya yang baru yaitu untuk kepentingan hiburan, tempat penyelenggaraan musik sirompak dialihkan ke tempat-tempat yang lebih cocok dikatakan sebagai sebuah tempat pertunjukan, misalnya disajikan dalam pesta-pesta perkawinan atau pesta-pesta lainnya yang diselenggarakan oleh anak nagari. Adapun instrumen musik yang biasanya memakai saluang sirompak saja, dalam perubahannya telah dimanfaatkan pula instrumen rabab (rebab) untuk mengiringi dendang-dendang sirompak. Di samping itu, unsur-unsur musikal yang ada dalam aktivitas basirompak, oleh seniman tradisional pendukung aktivitas musik sirompak itu diolah untuk disajikan ke dalam teater tradisional mereka, yaitu randai. Untuk menjadikan randai masyarakat Taeh Baruah semakin menarik, direkayasa pula sebuah cerita untuk randai tersebut yaitu kisah kegagalan cinta sepasang muda-mudi, yang pada akhirnya diselesaikan dengan upacara ritual magis (dalam cerita randai tersebut).
Sejalan dengan perubahan penggunaan tersebut di atas, terjadi pula perubahan terhadap fungsi aktivitas basirompak bagi masyarakat pendukungnya, baik bagi senimannya maupun bagi masyarakat Taeh Baruah pada umumnya, yang merasa ikut memiliki keberadaan musik sirompak.
Menurut Kaemmer (1993:149), aktivitas musik memiliki dampak dalam tiga komponen sistem sosial budaya yaitu, ungkapan, materi, dan sosial. Jadi pemahaman tentang peran musik dalam kehidupan manusia perlu mengamati bagaimana musik dihubungkan dengan semuanya, terutama menyangkut hubungan musik dengan batin manusia, merupakan masalah yang jauh lebih rumit. Jadi, apa yang dilakukan oleh sebagian besar laki-laki di Taeh Baruah yang memanfaatkan musik dalam aktivitas ritual magis basirompaklewat perantaraan pawang, aspek pemenuhan atas kebutuhan biologis, pada dasarnya adalah merupakan dampak objektif yang oleh banyak peneliti tentang hal yang sama, disebut sebagai fungsi tersembunyi.
Setelah mengalami perubahan menjadi sebuah bentuk seni pertunjukan, yaitu musik sirompak, fungsi pemenuhan atas kebutuhan biologis yang selama ini terselubung dalam penyelenggaraan aktivitas ritual magis basirompak, secara otomatis bergeser kepada fungsi lainnya, yaitu fungsi kenikmatan dan hiburan, serta fungsi ikatan sosial. Fungsi semacam itu merupakan dampak dari tindakan penyelenggaraan musik sirompak yang disengajauntuk memeriahkan berbagai pesta yang diselenggarakan oleh anggota masyarakat—meskipun anggota masyarakat tersebut tidak memikirkannya sebagai tujuan dari penyelenggaraan aktivitas itu.
Berkaitan dengan hal di atas, sebagai imbangan dari penggunaan musik dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, Merriam (1980:219-226) mengemukakan 10 fungsi musik sebagai berikut: (1) fungsi ekspresi emosional, (2) fungsi kenikmatan estetis, (3) fungsi hiburan, (4) fungsi komunikasi, (5) fungsi perlambangan, (6) fungsi rekreasi jasmani, (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma sosial, (8) fungsi pengesahan lembaga sosial dan upacara agama, (9) fungsi kesinambungan norma-norma sosial, dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat.
Tidak kesepuluh fungsi yang dikemukakan oleh Merriam tersebut di atas, dapat ditemukan dalam aktivitas musik sirompak sebagai sebuah bentuk pertunjukan hiburan. Beberapa di antaranya yang dapat diidentifikasi, adalah sebagai berikut.
a. Fungsi Ekspresi Emosi
“Memang jarang sekali musik itu hanya bunyi semata-mata. Acap kali ia merupakan pengakuan manusia, sejarah kemanusiaan. Acap kali ia menceritakan suka dan duka manusia, semangatnya dan kebutuhannya” (Ackere. t.t.:7). Pada tingkat yang lebih umum, bagaimana pun musik tampak jelas terlibat dengan emosi dan sebagai alat untuk ekspresi.
Kaemmer (1993:154) menyebutnya sebagai music as self-expression. Ungkapan ini sering dihubungkan dengan kebutuhan psikologis dan keutuhan pribadi individu. Banyak masyarakat mengakui makna aspek musik ini. Musik memiliki dampak menenangkan pada individu, dan memungkinkan mereka “melepaskan sesuatu dari benaknya”.
Pada pertunjukan musik sirompak, emosi dan ekspresi yang terkandung di dalamnya dapat diungkapkan melalui kalimat lagu yang didendangkan oleh tukang dendang. Untuk membantu mewujudkan emosi dan ekspresi yang disampaikan oleh tukang dendang, tukang saluang menyalurkan pula emosi dan ekspresinya lewat tiupan saluang sirompaknya, yang sekaligus mengiringi dendang tersebut.
Emosi dan ekspresi yang disalurkan bersamaan oleh para pemain dengan media ungkapnya masing-masing, diakomodasikan ke dalam bermacam-macam kalimat dendang. Kalimat-kalimat dendang tersebut dapat saja berupa ungkapan kegembiraan, atau ungkapan kesedihan. Hal tersebut sangat tergantung kepada suasana yang melingkupi pertunjukan pada saat itu, atau suasana hati tukang dendang. Oleh karena itu, musik sirompak sebagai pertunjukan dapat berfungsi—terutama bagi pemain—sebagai alat ekspresi emosi yang cenderung bersifat khusus. Emosi yang diekspresikan itu, sesuai dengan suasana kejiwaan masing-masing pemain pada saat mereka mempergunakan media ungkapnya.
b. Fungsi Hiburan
Seperti halnya musik dalam kehidupan masyarakat pada umumnya, dapat memberikan hiburan kepada anggota masyarakat tersebut. Begitu pula pertunjukan musik sirompak dapat memberikan hiburan kepada masyarakat Taeh Baruah. Hanya saja dalam hal ini, terdapat suatu perbedaan antara hiburan “murni” yang merupakan ciri khusus musik dalam kehidupan masyarakat Barat, dan hiburan yang bergabung dengan fungsi yang lain sebagai ciri yang lazim dalam masyarakat yang tidak mengenal tulisan (nonliterate). Sejalan dengan hal itu, Merriam (1980:223) mengungkapkan bahwa:
Music provides an entertainment function in all societies. It needs only to be pointed out that a distinction must probably be drawn between “pure” entertainment, which seems to be a particular feature of musik in Western society, and entertainment combined with other functions. The latter may well be a more prevalent feature of nonliterate societies.
Masyarakat Taeh baruah yang boleh dikatakan masih sederhana, tidak mengenal tradisi tulisan dalam kebudayaan musik mereka. Oleh sebab itu, fungsi hiburan musik sirompak selalu bergabung dengan fungsi-fungsi yang lain pada saat musik itu dipertunjukkan.
Sesuai dengan kebiasaan pertunjukan musik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau pada umumnya, demikian pula halnya dengan pertunjukan musik sirompak dalam kehidupan masyarakat Taeh Baruah, yang selalu menyertai suatu upacara atau pesta-pesta perkawinan. Di dalam keberlangsungan suatu upacara atau pesta-pesta perkawinan tersebut, musik sirompak memberikan hiburan kepada orang-orang yang terlibat dalam pekerjaan pada upacara atau pesta itu. Hal ini terlihat dari reaksi atau respon mereka terhadap kalimat-kalimat dendang yang dilantunkan oleh tukang dendang. Reaksi atau respon tersebut dapat berupa tambahan atau sambungan dengan pantun-pantun yang secara spontan terucapkan oleh orang-orang yang sedang melakukan pekerjaan di sekitar tempat ber-langsungnya pertunjukan, terhadap kalimat-kalimat pantun tukang dendang yang memang sengaja tidak diselesaikan. Kadang-kadang respon atau reaksi yang muncul adalah berupa pembicaraan di antara orang-orang tersebut mengenai isi pantun yang disajikan oleh tukang dendang.
Keterhiburan mereka oleh pertunjukan musik sirompak, antara lain tercermin dari keceriaan mereka dalam melakukan aktivitas masing-masing, yang dalam kelakarnya menyinggung pertunjukan yang sedang berlangsung, bahkan di antara mereka ada pula yang menyenandungkan melodi musik yang sedang berlangsung. Kondisi seperti demikian itu, dapat dikatakan sebagai pencerminan dari apa yang dimaksud oleh Huizinga 1990:226; Kaemmer, 1993:151-153, bahwa “hakekat semua kegiatan musik adalah permainan dan itu merupakan fakta primernya yang diakui di mana-mana walaupun ia tidak terucapkan secara eksplisit”.
Kenyataan terhiburnya orang-orang oleh pertunjukan musik sirompak, secara umum tercermin dalam perilaku mereka yang penuh suasana gembira, ceria, berkelakar, maupun cemoohan, yang berkaitan dengan pertunjukan. Fenomena ini bisa saja terjadi di tengah berlangsungnya pertunjukan musik sirompak atau pada waktu istirahat para pemain.
Demikian pertunjukan musik sirompak berfungsi hiburan dalam kehidupan masyarakat Taeh Baruah, di samping fungsi lain yang mungkin diberikannya sesuai dengan tradisi pertunjukan musik tersebut yang selalu menyertai suatu kegiatan upacara atau pesta-pesta yang diselenggarakan oleh anak nagari (anggota masyarakat).
c. Fungsi Komunikasi
Pada bagian ini akan dilihat bagaimana musik sirompak sebagai fungsi komunikasi digunakan. Dalam penyajiannya, terlihat ketika tukang dendang melagukan pantun-pantun yang isinya berhubungan dengan, misalnya mengungkapkan perasaan cinta.
Tatkala seseorang sudah kehabisan akal bagaimana mengutarakan maksud hatinya kepada seseorang yang dicintainya, tukang dendang dengan keahliannya menciptakan pantun-pantun adalah solusi yang tepat untuk itu. Diharapkan dengan bantuan tukang dendang, maksud hati dan perasaan cintanya akan dapat diketahui oleh orang yang menjadi pujaan hatinya. Kondisi yang demikian tidak jauh berbeda dengan apa yang diungkapkan oleh Kaemmer (1993:155) bahwa: “Music is sometimes performed specificaly for the porpuse of communication. A good example of this use is the lullaby, when a parent sings to express love, to entertain a child, and, it is hoped, to put it to sleep” (“Musik kadang-kadang dimainkan secara khusus untuk tujuan komunikasi. Contoh penggunaan ini adalah lagu pengantar tidur anak-anak, ketika orang tua menyanyi untuk mengungkapkan rasa cinta, untuk menghibur seorang anak, dan untuk membuat anaknya tertidur”). Dalam ungkapan yang lain, tetapi kurang lebih mengandung maksud yang sama, Merriam (1980:223) mengungkapkan pula bahwa:
Music is not universal language, but rather is shaped in terms of the culture of which it is a part. In the song texts it employes, it communicates direct information to those who understand the language in which it is coushed. It conveys emotion, or something similar to emotion, to those who understand it idiom.
Musik sirompak kadangkala juga menyajikan pantun-pantun berisikan ungkapan cinta. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dapat dilihat dari pantun-pantun dendang berikut.

Kok basayok tabang ka gunuang,
tiok tanjuang alah den jajak.
Adiak tabayang dalam jantuang,
aia mato kakariang tidak.
Ayam kuriak rambaian taduang,
ikua manjelo masuak padi,
jo tampuruang barilah makan.
Dalam daerah tujuah kampuang,
tuan surang nan cinto hati,
nan lain buliah den haramkan.

Manangih sapanjang jalan,
mamakiak sampai ka gunuang,
nan bak mambilang kayu mati.
Tuan kanduang japuiklah badan,
sakik nan tido tatangguangkan
raso kaputuih jantuang hati.

Beberapa contoh pantun tersebut di atas mengandung makna ungkapan perasaan hati seseorang terhadap lawan jenis yang dicintainya. Dengan mengungkapkannya lewat dendang, diharapkan akan terjadi komunikasi dengan seseorang yang dituju atau dimaksud di dalam pantun-pantun tersebut.