Senin, 10 Agustus 2009

Aktivitas Ritual dan Kepercayaan Masyarakat

Aktivitas kehidupan masyarakat, pada dasarnya adalah merupakan ekspresi kultural dari seseorang atau sekelompok orang dalam masyarakat tersebut. Munculnya aktivitas itu tidak lain dalam rangka memberi makna kepada kehidupan mereka. Berbagai gagasan dan tindakan dalam rangka pemberian makna terhadap kehidupan tersebut di antaranya diwujudkan ke dalam bentuk permainan1 dan ritual. Keseluruhan sistem gagasan dan tindakan itu tentu saja dipengaruhi oleh persepsi kebudayaan mereka. Demikian pula halnya dengan masyarakat Nagari Taeh Baruah, yang memiliki berbagai aktivitas budaya dan selalu diramaikan pula dengan berbagai pamainan anak nagari (kesenian rakyat).

Berbagai aktivitas ritual tersebut di antaranya adalah, upacara memotong rambut dan memotong gigi, upacara sunatan, upacara memandikan kuda, upacara memandikan singa,2 dan upacara maambiak padi (menuai padi), serta upacara ritual mistik basirompak. Aktivitas ritual tersebutbeberapa di antaranya penyelenggaraannya selalu dimeriahkan dengan menampilkan berbagai pamainan anak nagari seperti, randai, dan talempong pacik.

Semua bentuk aktivitas ritual dan pamainan anak nagari tersebut di atas, ada yang betul-betul diselenggarakan murni sebagai permainan/hiburan, seperti penyelenggaraan upacara adat memandikan kuda dan sunatan, namun beberapa di antaranya, seperti upacara adat memandikan singa, upacara adat memotong rambut dan memotong gigi, serta upacara adat maambiak padi, biasanya berkaitan dengan kepercayaan terhadap hal-hal yang berlandaskan kepada pikiran-pikiran mistis pendukung aktivitas ritual tersebut. Berkaitan dengan hal itu, Peursen mengungkapkan bahwa:

Perbuatan-perbuatan yang bersifat magi timbul dari pikiran mistis. Manusia sebagai individu ataupun sebagai anggota suku, dalam alam pikiran mistis merasakan dirinya berada dalam kepungan kekuatan-kekuatan gaib alam sekitarnya. Untuk menangkis bahaya dan melindungi diri atau suku dari kekuatan gaib itu, dapat dilakukan melalui suatu upacara-upacara yang bersifat magi. Umpamanya upacara-upacara magi untuk mendatangkan hujan di waktu kemarau panjang yang menggelisahkan para petani.3

Selanjutnya Peursen menegaskan pula bahwa, “upacara-upacara magi yang timbul dari pikiran mistis dalam kehidupan kebudayaan primitif sangat memegang peranan yang besar”.4 Pikiran mistis atau mistik itu sendiri adalah suatu sikap mempercayai hal-hal gaib yang tidak terjangkau oleh akal manusia yang biasa.5 Tentu saja upacara-upacara magi yang berlangsung dalam kehidupan manusia primitif itu berkaitan erat dengan kepercayaan terhadap animisme dan spiritisme.

Manusia primitif atau manusia zaman kuno pada umumnya yakin akan adanya suatu kekuatan gaib atau zat halus yang memberi kekuatan hidup dan gerak kepada banyak hal di dalam alam semesta ini. Zat halus yang oleh Kruyt6 disebut zielestof itu terutama ada di dalam beberapa bagian tubuh manusia, binatang, dan tumbuh-tumbuhan, tetapi seringkali juga ada di dalam benda. Keyakinan kepada zielestof seperti itu oleh Kruyt disebut animisme.

Di samping keyakinan kepada zielestof, manusia primitif atau manusia kuno juga mempunyai keyakinan lain, yaitu kepada berbagai macam makhluk halus yang menempati alam sekeliling tempat tinggalnya.

Makhluk-makhluk halus itu mempunyai pengaruh penting pada kehidupan manusia, karena mereka mempunyai kemauan sendiri, dapat bergembira apabila diperhatikan oleh manusia, tetapi dapat pula marah apabila diabaikan. Bayangan manusia tentang wujud dari makhluk-makhluk halus yang hidup menempati alam sekelilingnya itu adalah bermacam-macam. Karena manusia biasanya membagi dunia makhluk halus ke dalam dua golongan, yaitu makhluk halus yang jahat dan yang baik, maka bayangan orang tentang wujud dari berbagai makhluk halus itu dibagi pula ke dalam wujud yang mengerikan dan wujud yang menarik hati. Sistem keyakinan akan adanya makhluk-makhluk halus tersebut di atas ini oleh Kruyt disebut spiritisme.7

Berkaitan dengan kepercayaan animisme ini, Brandon juga menjelaskannya dalam kehidupan masyarakat imigran di kawasan Asia Tenggara sebagai berikut.

Animisme adalah agama yang umum bagi orang-orang imigran. Satu di antara kepercayaan mereka adalah bahwa roh-roh tinggal di apa saja di dunia ini, yaitu di batu, di butiran padi, di pohon, di gunung, di sebatang­ sungai ....Seorang animis juga percaya tentang adanya “kekuatan atau magi” yang luar biasa pentingnya....8

Di samping unsur keyakinan tersebut di atas, unsur upacara dan ritual merupakan suatu bentuk kegiatan yang tidak terlepas dari kebiasaan-kebiasaan hidup manusia primitif pada waktu itu, bahkan hingga sekarang unsur seperti itu masih sering dijumpai dalam kehidupan manusia modern. Berkaitan dengan hal ini, K.T. Preusz mengungkapkan bahwa:

Pusat dari tiap sistem religi dan kepercayaan di dunia adalah ritus dan upacara, dan melalui kekuatan-kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan gaib seperti itu manusia mengira dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya serta mencapai tujuan hidupnya, baik yang sifatnya material maupun yang spiritual.9

Walaupun demikian, Söderblom menyebut pentingnya tokoh pelaksana religi yang mengaktifkan keyakinan manusia terhadap kekuatan sakti yang luar biasa, yang dengan tindakan ritus dan upacara dapat menimbulkan sikap “takut bercampur percaya” pada warga masyarakat. Tokoh pelaksana itu adalah syaman, dukun, atau ahli sihir.10

Beberapa keterangan tersebut di atas, merupakan suatu indikasi bahwa aktivitas ritual dalam kehidupan manusia telah ada semenjak zaman pra-sejarah. Aktivitas itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kebudayaan pra-sejarah atau pra-Hindu, baik di kawasan Nusantara maupun di Asia Tenggara umumnya.

Sebagian besar ahli berpendapat, tahun 2500 SM sampai 1500 SM terjadi perpindahan penduduk secara massal dari Cina bagian barat daya ke negara-negara di selatan. Orang-orang ini dengan berbagai cara, oleh para ahli antropologi disebut sebagai orang-orang Indonesia, Austronesia, dan Proto-Melayu atau Deutro-Melayu.11

Hasil kebudayaan neolithicum yang terbuat dari batu kaca gunung berapi (obisidian atau kecubung), ditemukan dalam beberapa gua di Jambi Hulu dan sekitar danau Kerinci. Barang-barang itu digunakan sebagai ujung panah, pisau, dan lain-lain. Di samping peninggalan-peninggalan itu, di daerah sekitar danau Kerinci juga ditemukan pecahan-pecahan periuk dari tembikar.12 Diduga, bangsa Austronesia tersebut di ataslah yang memiliki peninggalan kebudayaan neolithicum itu.

M.D. Mansoer, dkk. juga mengungkapkan sebuah kemungkinan bahwa pendukung kebudayaan neolithicum di Minangkabau adalah bangsa Austronesia, dan sekaligus menjadi penduduk asli Minangkabau. Mereka datang ke dataran yang saat ini dikenal sebagai wilayah kebudayaan Minangkabau dalam ikatan keluarga secara bergelombang dan dalam jangka waktu yang sangat lama, dengan mempergunakan perahu bercadik (hasil kebudayaan khas bangsa Austronesia ± 2000 tahun SM). Bukti-bukti peninggalan zaman pra-sejarah ini berlanjut hingga ditemukannya bekas-bekas kebudayaan perunggu yang dibawa oleh bangsa Austronesia-Baru (Melayu-Muda) dan megalithicum di berbagai wilayah pedalaman Minangkabau. Berdasarkan beberapa keterangan tersebut, dapat diduga bahwa keturunan bangsa Melayu-Tua atau Melayu-Muda ini yang menjadi nenek moyang orang-orang Minangkabau.13

Sehubungan dengan keberadaan bangsa Melayu-Tua dan Melayu-Muda yang menjadi nenek moyang bangsa Melayu di Semenanjung Malaysia dan di kepulauan Nusantara, Curt Sachs mengungkapkan bahwa:

Keturunan Melayu-Proto dan Melayu Deutro menciptakan berbagai-bagai jenis permainan dan ritual untuk memberikan makna kepada kehidupan mereka. Mereka percaya bahwa sungai, pokok [pohon], bukit, gunung dan hutan mempunyai semangat, dan untuk menentukan keharmonisan dan keseimbangan semangat ini dengan penduduk, ritual-ritual tertentu di-adakan.14

Suku Melayu Minangkabau menganut kepercayaan asli yang bercorak animisme dan dinamisme.15 Seperti juga di bagian lain kepulauan Indonesia, kebudayaan masyarakatnya yang agraris dan bertumpu pada kepercayaan animisme, hingga sekarang jejak-jejaknya masih dapat ditemukan. Hal ini dapat dilihat dari keyakinan masyarakat yang bertempat tinggal jauh dari kawasan perkotaan terhadap pawang. Umpamanya pada waktu salah satu anggota keluarga menderita sakit, panen mereka terancam gagal, dan berbagai malapetaka lainnya, satu-satunya harapan mereka adalah pawang yang bisa berhubungan dengan kekuatan-kekuatan gaib dan dapat mendatangkan rasa aman bagi keluarga-keluarga atau masyarakat yang ditimpa musibah.

Dijadikannya pawang sebagai tumpuan harapan oleh sebagian masyarakat yang hidup di pedalaman Minangkabau, tidak terlepas dari kepercayaan masyarakat--yang diwarisi dari nenek moyang mereka--terhadap dualisme jiwa manusia. Seperti diungkapkan Izetbegovic, “dualisme adalah perasaan manusia yang paling dekat”.16 Tiap orang dianggap mempunyai jiwa yang sesungguhnya dan jiwa yang bisa menghilang; yang terakhir ini disebut sumangek17 (semangat) dan merupakan kekuatan vital bagi hidup seseorang. Berdasarkan keyakinan seperti ini, penyakit yang menghinggapi seseorang diyakini terjadi akibat semangatnya telah ditangkap oleh roh-roh jahat. Bertitik-tolak dari kepercayaan serta berpedoman kepada peristiwa yang pernah mereka alami, pawang lah yang bisa mengembalikan semangat itu kepada si sakit. Kadang-kadang pawang hanya berkonsultasi dengan roh-roh, tetapi ada kalanya dia bisa kerasukan setelah kehilangan kesadarannya di bawah bunyi tetabuhan dan nyanyian.18 Bukan hanya manusia yang memiliki semangat, hewan dan tumbuh-tumbuhan juga memilikinya. Misalnya, semangat yang terdapat di dalam padi disimpan dengan hati-hati melalui berbagai upacara pada waktu ditanam dan dipanen.19 Berkaitan dengan kepercayaan masyarakat terhadap animisme di Minangkabau, S. Müller mengungkapkan bahwa:

Kepercayaan implisit terhadap roh-roh merupakan unsur esensial untuk menjelaskan dunia ini dengan segala keburukannya. Semua dianggap didiami oleh roh, sehingga jalan setapak di rimba atau pohon memiliki roh tersendiri. Untuk menenangkan roh-roh jahat perlu diadakan persembahan korban. Roh-roh gunung khususnya sangat menakutkan, dan orang Minangkabau yang hendak naik ke puncak Gunung Merapi terlebih dahulu akan menyembelih kerbau untuk menenangkan roh-roh di gunung, di samping berhati-hati untuk tidak mengucapkan kata-kata tertentu yang dianggap bisa membuat gusar roh-roh itu.20

Sejalan dengan ungkapan itu, P. Th. Couperus juga menjelaskan tentang kebiasaan orang-orang Minangkabau yang tinggal di wilayah pedalaman memberikan sesaji pada batu-batu, pohon-pohon, gua-gua, atau tempat-tempat yang dianggap suci dengan memotong seekor ayam atau seekor kambing, yang disertai dengan membakar kemenyan dan membaca do’a-do’a.21

Di Nagari Taeh Baruah, aktivitas kebudayaan yang berciri khas animisme tersebut di atas, dapat ditemui dalam upacara-upacara adat, seperti:

1) Upacara adat memotong rambut dan memotong gigi, yaitu suatu upacara yang diselenggarakan bagi anak-anak yang memasuki usia dewasa. Rambut yang dibawa si anak dari kecil, dipotong pada saat upacara itu, kemudian rambut tersebut disimpan. Sewaktu-waktu apabila si anak sakit, oleh masyarakat setempat dipercaya bahwa air rendaman bekas rambut tadi, apabila diminumkan kepada si sakit akan dapat menyembuhkannya. Pada saat upacara memotong rambut ini, sekaligus dilaksanakan upacara pemotongan gigi, yaitu dengan cara mengasah giginya dengan sebuah batu putih. Upacara ini dimaksudkan untuk menjauhkan sifat kekanak-kanakannya. Dalam menyelenggarakan upacara adat ini, pada malam harinya masyarakat dihibur dengan menampilkan kesenian randai.

2) Upacara sunat rasu (khitanan) atau ada juga sebagian masyarakat Nagari Taeh Baruah yang menyebutnya dengan “ka Sinama” (ke batang Sinamar), karena sebelum anak itu disunat, terlebih dahulu dimandikan ke Batang Sinamar agar pada waktu disunat si anak tidak merasakan sakit. Pada malam harinya masyarakat dihibur dengan menyelenggarakan kesenian randai.

3) Upacara memandikan kuda. Seekor anak kuda jantan pada usia 5 bulan, akan diselenggarakan suatu upacara memandikan anak kuda tersebut ke Batang Sinamar. Dari rumah sampai ke Batang Sinamar, anak kuda ini diarak (semacam prosesi) dengan iringan gandang dan talempong pacik. Upacara memandikan anak kuda, dimaksudkan untuk menghilangkan takut anak kuda ini terhadap keramaian. Karena setelah kuda tersebut cukup dewasa, biasanya pemilik kuda akan memanfaatkannya untuk menarik bendi, yang tentu saja selalu berada di keramaian.

4) Upacara memandikan Singa. Upacara ini dilaksanakan pada waktu kemarau panjang melanda Nagari Taeh Baruah. Sebelum dimandikan, singa-singaan yang terbuat dari kuningan diarak ke sekeliling nagari. Sambil maarak singa-singaan ini, pawang dengan dukungan masyarakat lainnya membacakan mantra-mantra agar hujan turun mengguyur nagari mereka. Setelah prosesi ini selesai, baru lah singa-singaan itu dimandikan ke Batang Sinamar.

5) Upacara maambiak padi. Sebelum panen dilaksanakan, terlebih dahulu padi dituai (dipanen) sebanyak genggaman orang dewasa, kemudian digendong dengan kain putih dan dibawa pulang. Di rumah, padi ini diletakkan di tonggak tuo (tiang utama rumah gadang). Selanjutnya padi ditumbuak (dijadikan beras), dicampur dengan padi sisa panen sebelumnya lalu dimasak dan dimakan bersama, yang dinamakan mamakan hulu tahun (memakan beras baru). Sebelum mamakan hulu tahun ini, terlebih dahulu diawali dengan pembacaan mantra oleh seorang pawang. Upacara maambiak padi ini dimaksudkan untuk memanjatkan rasa syukur ke hadapan Yang Maha Kuasa, bahwa tanaman padi mereka dapat dipanen dengan baik. Setelah upacara ini selesai, baru lah panen yang sesungguhnya dilaksanakan. Pada saat panen ini, biasanya para perempuan melakukan basidodok (suatu nyanyian berbalas pantun yang hanya dilakukan oleh para perempuan pada waktu menuai padi di sawah).

Semua bentuk upacara adat tersebut di atas, selalu diawali terlebih dahulu dengan menyiapkan pambaokan, membakar kemenyan, dan mengucapkan mantra-mantra yang dilakukan oleh seorang pawang.

Pemanfaatan unsur-unsur yang khas animisme tersebut di atas tidak “murni” lagi, karena unsur-unsur animisme ini telah “diselubungi” dengan unsur-unsur kepercayaan Hindu dan Islam. Ini terlihat ketika penyelenggara upacara menyiapkan pambaokan (semacam sesaji) bagi arwah nenek moyangnya pada sebuah dulang (nampan) terbuat dari kuningan. Dulang ini diisi dengan berbagai macam makanan, seperti buah-buahan, nasi kunyik (nasi dari beras ketan yang dimasak dengan kunyit), bareh rondang (beras yang direndang), bermacam-macam kembang, dan yang paling penting sekali, di tengah-tengah dulang diletakkan perapian (semacam dupa) terbuat dari tanah.

Di samping itu, terdapat pula unsur-unsur kepercayaan Islam dalam penyelenggaraan upacara adat tersebut. Unsur-unsur ini muncul ketika pawang mulai mengucapkan mantra-mantranya. Pembukaan mantra selalu menggunakan kata Bismillahirrahmanirrahim, penggantian kata-kata dewa, atau penguasa, dan sejenisnya dengan kata Allah, Nabi Muhammad S.A.W., Nabi Khaidir, Nabi Sulaiman, dan sebagainya yang bercirikan konsep agama Islam.

Keadaan seperti ini menunjukkan bahwa, telah terjadi penyesuaian era animisme dengan era Hindu dan Islam yang menjadi spesifikasi dan identitas kultur masyarakat Nagari Taeh Baruah. Bahkan di beberapa kawasan di Minangkabau, terdapat penyesuaian aktivitas semacam ini dalam upacara tabuik di Pariaman, upacara batagak panghulu22 dengan gandang sarunainya23 di Sungai Pagu, dan sebagainya.

Di samping bentuk-bentuk aktivitas budaya yang berlatar kepercayaan terhadap animisme dan spiritisme tersebut di atas, terdapat pula suatu aktivitas yang masih dilandasi terhadap kepercayaan yang sama, tetapi lebih cenderung mengandalkan kekuatan mistik (black magic) dalam pencapaian tujuannya. Oleh masyarakat setempat, aktivitas itu dinamakan basirompak, yaitu suatu aktivitas ritual mistik yang bertujuan untuk “membalas” perlakuan seorang perempuan yang tidak baik (misalnya menghina, mencaci-maki, dan perlakuan yang sejenis lainnya) terhadap seorang laki-laki. Maksud “membalas” di sini adalah, mempengaruhi perempuan tersebut lewat perantara tukang sirompak agar berbalik menjadi tergila-gila kepada laki-laki yang telah dihinanya.



1Kata permainan, dalam bahasa Minangkabau diucapkan sebagai pamainan. Pamainan sebagai sebuah aktivitas, di dalamnya termasuk kegiatan kesenian.

2Singa yang dimaksud adalah, singa-singaan terbuat dari kuningan.

3C.A. van Peursen. 1976. Strategi Kebudayaan. Kanisius, Yogya-karta, p. 50.

4Ibid.

5Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Kedua. Cetakan Keempat, Balai Pustaka, Jakarta, p. 660.

6A.C. Kruyt dalam Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antro-pologi I. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta, p. 63.

7Ibid, p. 64.

8James R. Brandon. 1989. Seni Pertunjukan Di Asia Tenggara. Terjemahan R.M. Soedarsono. Institut Seni Indonesia, Yogyakarta, pp. 12, 22.

9K.T. Preusz dalam Koentjaraningrat, Op.Cit., p. 69.

10Ibid, p. 80.

11James R. Brandon, Op.Cit., p. 9.

12M.D. Mansoer, dkk. 1970. Sejarah Minangkabau. Bharatara, Djakarta, p. 30.

13Ibid, p. 32.

14Curt Sachs dalam Mohd. Ghouse Nasaruddin. 1989. Muzik Melayu Tradisi. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia, Kuala Lumpur, p. 1.

15Burhanuddin Daya. 1995. Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, p. 34.

16’Aliya ‘Ali Izetbegovic. 1989. Islam antara Timur dan Barat. Terjemahan Ahsin Mohammad. Penerbit Pustaka, Bandung, p. xviii.

17J.L. van der Toorn. 1890. “Het Animisme bij den Minangkabauer der Padangsche Bovenlanden”. Terjemahan Drs. Harto Juwono. BKI, xxxix, pp. 48-54.

18Ibid.

19Ibid, pp. 61-68.

20S. Müller dalam Christine Dobbin. 1992. Kebangkitan Islam dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah, Sumatera Tengah 1784 – 1847. Jilid XII. INIS, Jakarta, pp. 137-138.

21P.Th. Couperus. 1855. “Lembaga-lembaga Melayu di Dataran Tinggi Padang”. Terjemahan Drarto Juwono. TBG, iv, p. 7.

22Suatu aktivitas budaya masyarakat Minangkabau yang berarti penobatan seseorang sebagai pemimpin suku (clan).

23Seni musik tradisional masyarakat Alam Surambi Sungai Pagu (di wilayah Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat). Kesenian merupakan bagian yang tak terpisahkan dari upacara adat batagak panghulu masyarakat setempat.